Kesibukan Suharjo Nugroho makin bertambah. Selain karena ia baru saja dinobatkan sebagai Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) periode 2017 - 2020, pria yang akrab disapa Jojo itu tergerak untuk kembali ke kampus, berbagi ilmu praktis dan tren terkini yang terjadi di lapangan. Semua upaya itu, ia lakukan demi keberlangsungan industri PR.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti ketika pria yang menjabat sebagai Managing Director IMOGEN PR ini kami temui sehari setelah kembali dari mengunjungi universitas di Yogyakarta dan Solo di kantornya di Jakarta, Rabu (13/12/2017). Tak ada guratan lelah di wajahnya, yang ada justru semangat untuk berbagi cerita. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, ayah dua anak ini berkisah tentang ide dan harapannya terhadap dunia PR di tanah air. Berikut ini kutipannya.
Di tengah maraknya penggunaan media sosial. Bagaimana seharusnya PR mengelola media sosial yang benar?
Platform media sosial itu banyak, kita jangan genit menggunakan semuanya. Kita mesti paham dulu siapa target market kita, apa medium yang mereka pakai, pahami juga karakteristik media sosialnya. Otomatis, cara penyampaiannya tidak sama, tapi pesannya tetap sama.
Sebaiknya fokus pada satu pesan. Dari satu pesan inti itu kita buat turunannya. Ini dikarenakan, publik memiliki keterbatasan menangkap pesan saking banyaknya informasi yang beredar. Jika terlalu banyak pesan, mereka jadi tidak bisa menangkap image yang ingin kita bangun.
Seberapa besar manfaat media sosial bagi PR?
Sangat besar. Survei yang dilakukan IMOGEN PR kepada 1.000 responden di delapan kota pada awal Januari 2017 menunjukkan, 80 persen keputusan konsumen Indonesia membeli produk dipengaruhi oleh media sosial. Jadi, kalau kita mau memengaruhi masyarakat, mainkan media sosialnya.
Jaga juga kontennya. Untuk itu kita perlu menempatkan orang yang benar-benar mengelola media sosial. Mereka yang paling mudah belajar dan memahaminya adalah millennials. Kita ajarkan caranya dan seperti apa kontennya. Soal bagaimana menyampaikan dan platform yang digunakan, biarkan para digital native itu yang mengupayakan.
Seperti apa latar belakang karier Anda?
Latar belakang karier saya adalah jurnalis. Saya sudah magang menjadi wartawan sejak masih kuliah semester 4 Jurusan Komunikasi Massa FISIP UI. Di sinilah kemampuan menulis saya diasah.
Bagaimana ceritanya Anda bisa terjun di dunia PR?
Tidak sengaja. Tahun 2000, perusahaan media on-line banyak yang tumbang, termasuk tempat saya bekerja. Saya terkena PHK massal. Persaingan untuk mendapat pekerjaan di bidang yang sama pun terasa kian sengit.
Di tengah kondisi itu, saya iseng membuat komunitas Honda Tiger Mailing List (HTML). Eh, lama-kelamaan saya ditarik menjadi costumer care Honda. Karena saya memiliki latar belakang sebagai jurnalis, mereka juga meminta saya untuk menangani majalah internal perusahaan. Lalu, saya diminta untuk mendirikan Departemen PR, kemudian mendapat promosi sebagai marketing promotion. Setelah itu, saya memutuskan pindah ke HM Sampoerna. Di Sampoerna saya belajar banyak tentang PR dari Agensi-agensi PR nya. Tiga tahun setelah itu, saya mendapat tawaran dari teman saya untuk membangun IMOGEN PR.
Ada perdebatan batin kala itu. Apakah tetap berada di zona nyaman, ibaratnya di kapal pesiar tapi menjadi kelasi? Atau, pindah mengambil tantangan ke kapal kecil sebagai kapten? Saya sampai disidang oleh mertua ketika mereka mendengar saya mendapat tawaran itu. Saya memaklumi kekhawatiran mereka. Saya kepala keluarga dan sudah memiliki anak. Teman-teman pun heran, “Orang lain mau pindah ke sana, kamu malah keluar?”
Saya lalu minta doa restu orang tua dan salat istikharah. Hasilnya, bismillah, saya bergabung dengan IMOGEN PR. Tepatnya, 2010.
Apa yang membuat Anda yakin?
Saya pernah merasakan nikmatnya memiliki kebebasan berkreativitas dan berekspresi ketika masih menjadi wartawan. Saya rindu masa-masa itu. Kesempatan untuk merasakan kembali perasaan itu datang lagi, tapi kali ini dari agensi yang saya tidak tahu seperti apa dunianya.
Seperti apa suka dukanya?
Jungkir balik. Ha-ha. Saya belum pernah merasakan kerja di agensi. Saya punya proposal yang diterima dari agensi ketika saya bekerja di perusahaan, tapi saya tidak tahu bagaimana cara membuatnya.
Saya ingat betul waktu itu kami akan mengikuti pitching Magnum, produk es krim milik Unilever, tahun 2011. Kebetulan sebentar lagi saya ulang tahun. Saya lalu mengontak beberapa teman saya yang masih atau pernah bekerja di agensi untuk memberikan saya proposal sebagai kado ulang tahun. Saya baca satu per satu, saya cari tahu bagaimana polanya, lalu saya buat rumus, dan tembus.
Inilah yang kemudian menjadi tipping point saya dan teman-teman IMOGEN. Proyek yang dilakukan di awal-awal berdirinya perusahaan, berhasil dan viral. Proyek yang mengusung konsep 360 degrees communications, melibatkan banyak ide dan kepala dari tim PR, digital, media, hingga brand.
Kepuasan apa yang Anda rasakan?
Melihat klien happy. PR, kan, orang di belakang layar. Ibarat film Lord of the Ring, misalnya, Frodo yang jadi pahlawannya (klien), kami (agensi)—Gandalf—yang menyiapkan mantra-mantranya.
Bagaimana rasanya setelah selama tujuh tahun berkecimpung di dunia agensi PR?
Lebih dinamis. Ketika saya bekerja di perusahaan, saya hanya tahu produk kita dan kompetitor. That’s it. Ketika di agensi, saya berhadapan dengan berbagai industri. Yang menarik, klien bertanya hal serupa. “Mempiarkan es krim itu bagaimana, ya?” Sebaliknya, PR produk es krim bertanya bagaimana caranya mempiarkan rokok yang punya banyak aturan. Dari situ saya merasa memiliki value karena orang tertarik dengan apa yang saya kerjakan.
Intinya, di sini saya kaya ilmu dan tidak pernah berhenti belajar. Setiap hari, kami sudah seperti dokter, dikasih kasus terus. Ada yang tahu “penyakitnya”, tapi tidak tahu cara “menyembuhkannya”. Atau, dia tahu dia “sakit”, tapi tidak tahu “sakit” apa. Cara penanganan pun berbeda-beda. Menurut saya, tidak ada satu obat untuk semua penyakit—tidak ada rencana strategis yang template yang bisa diterapkan untuk semua kasus.
Ketika klien mengalami krisis, adakah do’s and don’ts-nya?
Masing-masing punya aturan main. Yang jelas, tidak boleh bohong. Kalau ada hal yang kurang baik, kita kasih lihat sisi baiknya.
Apa prinsip hidup Anda?
Urip iku urup—hidup itu untuk memberi nyala. Hidup kita harus mempunyai manfaat buat orang lain. Kita hebat bukan karena berada di sekeliling orang-orang hebat, tapi karena kita ada di sekeliling orang-orang lemah. Merekalah yang mendoakan kita supaya kita selamat, banyak rezeki, dan sehat selalu.
Mimpi yang ingin dicapai?
Membuat sekolah PR. Walau belum punya banyak ilmu sehebat para PR gurus, paling tidak kita bisa berbagi. Wujudnya memang belum ada. Saya sedang dalam tahap mengumpulkan puzzle.
Apa yang Anda lakukan saat senggang?
Mengurus beberapa bisnis, seperti bengkel motor, laundry, kos-kosan, budidaya jati, sampai butik. Yang terakhir itu, punya istri saya dan teman-temannya. Saya hanya bantu sedikit.
Wah, sibuk, ya? Bagaimana Anda membagi waktu dengan keluarga?
Sebenarnya kalau sudah punya sistem, bisnis bisa ditinggal. Tapi, memang ada risikonya. Sementara soal bagi waktu dengan keluarga, kami sekeluarga sebenarnya sudah bikin paspor. Tapi sampai paspor itu kadaluarsa, isinya masih kosong. Terutama, paspor anak-anak. Ha-ha-ha....
Tentu, sebisa mungkin saya menyisihkan waktu bersama keluarga. Saya justru merasa quality time saya lebih baik ketimbang ketika saya masih bekerja di client side. Di sini, saya masih bisa mengatur waktu sendiri.
Apa pesan Anda kepada junior PR?
Mereka berada di dunia yang memiliki tantangan lebih banyak, kompetisi dan tuntutan adaptasi super tinggi untuk dapat survive. Dulu, kalau kita mau pintar harus ke perpustakaan. Di era digital native, semua informasi bisa diperoleh dengan mudah, sehingga semua orang memiliki kesempatan yang sama. Maka, keluarlah cari pengalaman. Jangan puas hanya dengan apa yang kalian miliki sekarang! (rtn)