JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Seperti ketika pria yang menjabat sebagai Managing Director IMOGEN PR ini kami temui sehari setelah kembali dari mengunjungi universitas di Yogyakarta dan Solo di kantornya di Jakarta, Rabu (13/12/2017). Tak ada guratan lelah di wajahnya, yang ada justru semangat untuk berbagi cerita. Kepada Ratna Kartika dari PR INDONESIA, ayah dua anak ini berkisah tentang ide dan harapannya terhadap dunia PR di tanah air. Berikut ini kutipannya.
Apa yang menginisiasi Anda untuk melakukan roadshow dari kampus ke kampus?
Inisiasi praktisi kembali ke kampus itu sebenarnya lahir pada saat akademisi bertemu dengan praktisi di acara Meet Up yang digagas PR INDONESIA beberapa bulan lalu. Setelah itu, saya langsung bergerak sendiri.
Yang paling gampang adalah kembali ke almamater. Jadi, waktu itu saya kembali ke kampus di Universitas Indonesia (UI), Depok, bertemu dengan dosen, guru-guru besar FISIP, dan ketua program studi Ilmu Komunikasi di sana yang kebetulan teman seangkatan saya. Kami saling berbagi cerita tentang tren PR saat ini. Dari sana berlanjut ke Program Vokasi (D3) Ilmu Komunikasi UI. Lalu, rombongan dosen Universitas Multimedia Nusantara (UMN), Serpong, Tangerang, datang ke kantor Imogen. Kami sharing.
Nah, berlanjut lagi dari hasil obrolan saya dengan anak-anak magang di IMOGEN PR. Dari obrolan itu, sebagian besar dari mereka mengatakan, kampus kurang mengajarkan hal-hal praktis. Ketika kondisi itu mereka sampaikan ke dosen, dosennya tidak memiliki kemampuan untuk mengajarkan. Jadi, mereka berkesimpulan, praktisinya yang harus ke kampus, bicara dengan dosen mereka.
Akhirnya, ada di antara mereka yang mengundang saya untuk menjadi pembicara di kampus, Universitas Negeri Sebelas Maret (UNS), Solo. Kebetulan, saya juga diundang oleh Anti (Frizky Nurnisya, penerima Fellowship PR INDONESIA 2016 - 2017), dari Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, untuk menjadi juri sekaligus pembicara workshop. Maka, minggu lalu saya sekalian keliling dari kampus ke kampus di Jogja dan Solo. Semua serba kebetulan, seperti sudah diatur sama Allah.
Setelah sharing dengan para dosen dan mahasiswa, seperti apa kondisinya?
Pada dasarnya, para dosen mengetahui adanya gap antara ilmu yang diajarkan di kampus dengan praktik di lapangan. Tapi mereka tidak sadar seberapa cepat perubahannya dan seperti apa tren PR yang sebenarnya sedang berkembang saat ini. Mereka juga open mind, tapi banyak hambatan. Terutama, universitas negeri cenderung sulit melakukan penyesuaian kurikulum karena terbentur birokrasi. Sementara kondisi di universitas swasta lebih fleksibel meski yang diajarkan masih sebatas permukaan.
Mahasiswa pun baru sadar, ternyata yang mereka pelajari di kampus enggak nyambung dengan yang terjadi di lapangan. Saya menyarankan mereka untuk aktif berogranisasi, ikut kompetisi PR, dan magang untuk meminimalisasi kesenjangan.
Jadi, menurut Anda, jalur tercepat untuk menjembatani gap ini dengan cara praktisi harus turun ke kampus?
Iya. Masalahnya selama ini, kita tidak pernah ngobrol. Akademisi asyik sendiri membuat jurnal, praktisi asyik mengerjakan proyek. Masing-masing ada di zona nyaman. Sekarang, sudah menjadi kebutuhan. Tapi, siapa yang mau teriak, memberi tahu, bergerak, dan harus dari mana memulainya?
Paling tidak, alumni harus balik ke kampus. Kembalinya mereka ke kampus juga bagian dari misi giving back. Sementara untuk akademisi, paling gampang adalah memanggil alumninya yang sekarang sudah menjadi profesional untuk berbagi ilmu kepada adik-adiknya. Ketika saya sampaikan kondisi dan ide untuk kembali ke kampus ini kepada teman-teman di APPRI, mereka sepakat dan siap berbagi.
Apa harapan yang paling ideal dengan kembalinya praktisi ke kampus?
Sebenarnya ada simbiosis mutualisme antara akademisi dan praktisi. Kami ini butuh riset. Riset yang ada sekarang umumnya datang dari luar negeri. Bahkan, mereka yang melakukan riset tentang Indonesia. Harusnya kita bisa. Tapi, kami tidak punya kemampuan. Kita bisa minta ke kampus. Kami beri tahu trennya, akademisi yang melakukan riset. Dari hasil riset itu, kita dapat bahan yang menarik.
Di sisi lain, kami berharap para dosen menyempatkan waktu untuk keluar dari zona nyaman untuk mengembangkan diri. Salah satunya, dengan cara aktif mengikuti workshop dan seminar serta berdiskusi lebih banyak. Kami akan senang hati jika diikutsertakan oleh para dosen untuk membahas kurikulum yang dibutuhkan industri saat ini. Semoga upaya-upaya ini bisa mengurangi isu yang terjadi di industri PR. (rtn)