Maria dikenal sebagai sosok yang menghargai waktu. Bahkan, ketika PR INDONESIA sudah berupaya datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan, perempuan kelahiran Yogyakarta, 70 tahun lalu itu sudah datang bersama anaknya, Astrid. Ia tampak sedang menikmati hidangan makan siang. Maria memastikan tak ada waktu terbuang dan siap diwawancarai sesuai jadwal, tepat pukul 2 siang, di Restoran Lumpang Emas, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Selain sebagai founder dan President Director IPM Public Relations, nenek dari sembilan cucu ini juga dikenal sebagai PR INDONESIA Gurus. Ia kerap didapuk sebagai pembicara di tiap workshop yang diadakan oleh PR INDONESIA. Namun, siapa yang mengira, Maria sebenarnya tidak memiliki basic PR. Ilmu yang diperolehnya adalah kumpulan pengalaman selama 32 tahun mengarungi belantara PR. Kepada Ratna Kartika, Maria bercerita tentang pandangan, pesan, harapan, hingga mimpinya terhadap dunia yang dia cintai. Berikut petikannya.
Apa yang menjadi pertimbangan mereka ketika itu?
Umumnya mereka mengatakan, “Kami melihat kamu mempunyai kemampuan yang kami cari.” Nomor satu adalah fasih bahasa Inggris baik secara lisan maupun tulisan. Mereka juga menilai saya memiliki strategic thinking skills. Satu lagi, saya mengetahui budaya Indonesia juga Barat. (Ayah Maria adalah diplomat. Selama sepuluh tahun, Maria tinggal di berbagai negara seperti Thailand dan Kanada.)
Apa yang meyakinkan Anda hingga akhirnya menerima tawaran tersebut?
Mereka bilang, “Kami akan membantu. Kami akan membawa semua manual book (buku panduan) dari kantor pusat. Kamu pelajari dan adaptasi sesuai kondisi di Indonesia.” Mereka itu sistem komunikasinya bagus sekali. Saya belajar semuanya dari buku panduan itu.
Ketika harus mengadakan konferensi pers, saya diminta mengikuti langkah-langkahnya sesuai yang ada di buku panduan, lalu diadaptasi sesuai keadaan dan kondisi lokal. Untuk meningkatkan kompetensi, mereka memberi kesempatan kepada saya untuk mengikuti pelatihan, seminar atau workshop PR di luar negeri.
Ketika ada krisis, meski saya belum berpengalaman, tapi masalah tidak berlarut-larut karena mereka mempunyai crisis management system. Semuanya tertulis di dalam buku panduan, sehingga masing-masing sudah tahu apa yang harus dilakukan. Jalan keluar dipikirkan bersama-sama, mengacu pada buku panduan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang terjadi saat itu.
Di sinilah tantangannya. Saya tidak punya latar belakang pendidikan formal di bidang PR. Saya jalani sembari terus belajar. Ada kalanya saya terpeleset, tapi dari kesalahan itu saya belajar. Meski begitu, saya senang karena passion saya menulis dan komunikasi tersalurkan di sini. Nah, karena banyaknya permintaan, saya bersama dua rekan saya memutuskan untuk mendirikan agensi PR bernama IPM tahun 1985, yang beroperasi sampai sekarang.
Hobi menulis itu mulai tumbuh sejak kapan?
Tahun ‘60-an ada koran yang dikelola Departemen Luar Negeri bernama The Djakarta Times. Mereka melihat saya suka menulis, akhirnya saya diminta untuk mewawancarai selebritas asing yang datang ke Indonesia untuk mengisi rubrik Spotlight. Karena mereka suka dengan artikel saya, akhirnya saya diminta untuk mengisi rubrik itu secara rutin. Bahkan, saat kasus G30 S PKI diadili di pengadilan, saya yang ditugaskan untuk meliput.
Tahun 1983, saya dipanggil Bapak Ishadi S.K. (pakar televisi Indonesia) untuk menjadi wartawan televisi English News Service di TVRI. Jadi ketika itu, selain menjalankan tugas-tugas PR di perusahaan, mengelola business center, saya juga jurnalis.
Setelah mendengar cerita Anda, apa pun masalahnya, ilmu PR dari dulu sampai sekarang sama, ya?
Ilmu PR dari dulu sampai sekarang sama, namun situasi berubah. Dulu, stasiun televisi di Indonesia hanya ada satu, media cetak tidak terlalu banyak. Lalu berubah, televisi swasta, media cetak mulai bermunculan. Setelah itu, masuk internet dan media sosial.
Namun, yang namanya kebijakan dan prosedur di bidang PR yang dilakukan oleh bidang corporate communication department suatu perusahaan, atau humas di setiap instansi itu sama. Tantangannya saja yang saat ini menjadi luas dibandingkan dulu. Sehingga, sebagai seorang praktisi PR, mereka harus mampu lebih tajam membaca suasana yang cakupannya semakin luas tadi, bahkan global. Di samping itu, pastinya mereka harus punya crisis management system, sehingga kalau terjadi apa-apa, penanganannya cepat.
Kompetensi dan karakter PR seperti apa yang dibutuhkan di era seperti sekarang?
Syarat mutlak seorang praktisi PR itu, pertama, kemampuan berkomunikasi yang baik, baik secara verbal maupun nonverbal. Kedua, kemampuan strategic dan analitical thinking. Kemudian, good interpersonal skills—kemampuan bersosialisasi dengan segala lapisan. Nah, kalau syarat-syarat itu sudah terpenuhi, mereka akan dengan mudah menyelami dan lebih cepat menguasai dunia PR.(rtn)