Maria dikenal sebagai sosok yang menghargai waktu. Bahkan, ketika PR INDONESIA sudah berupaya datang lebih awal dari waktu yang dijanjikan, perempuan kelahiran Yogyakarta, 70 tahun lalu itu sudah datang bersama anaknya, Astrid. Ia tampak sedang menikmati hidangan makan siang. Maria memastikan tak ada waktu terbuang dan siap diwawancarai sesuai jadwal, tepat pukul 2 siang, di Restoran Lumpang Emas, Jakarta, Selasa (7/11/2017).
Selain sebagai founder dan President Director IPM Public Relations, nenek dari sembilan cucu ini juga dikenal sebagai PR INDONESIA Gurus. Ia kerap didapuk sebagai pembicara di tiap workshop yang diadakan oleh PR INDONESIA. Namun, siapa yang mengira, Maria sebenarnya tidak memiliki basic PR. Ilmu yang diperolehnya adalah kumpulan pengalaman selama 32 tahun mengarungi belantara PR. Kepada Ratna Kartika, Maria bercerita tentang pandangan, pesan, harapan, hingga mimpinya terhadap dunia yang dia cintai. Berikut petikannya.
Sesaat ketika wawancara akan dimulai, tiba-tiba Maria memperlihatkan artikel yang dia terima melalui Whatsapp-nya tadi pagi. Artikel berjudul “Strategi Komunikasi Para Menteri Dinilai Meleset” itu benar-benar membuat hatinya gelisah. “Kenapa ini bisa terjadi?” katanya seraya bertanya.
Apa yang membuat Anda kelihatan begitu resah?
Yang namanya melenceng, it’s very serious.
Dari artikel itu, kesalahan apa yang bisa Anda tangkap dan harus diperbaiki?
Saya belum berani bicara karena saya belum melihat dan berkomunikasi dengan mereka secara langsung. Kita juga tidak tahu metode pengukuran apa yang dipakai sampai bisa ditarik kesimpulan “melenceng”.
Kesimpulan “melenceng” itu tidak bisa diukur hanya dari hasil media monitoring dan jumlah pemberitaan di media. Pengukuran itu seharusnya berdasarkan output masing-masing dalam bentuk indeks. Karena formula yang dibuat oleh indeks mencakup kriteria-kriteria seperti key messages, tone, nilai-nilai, dan sebagainya. Indeksnya akan tinggi kalau output-nya bagus, dan rendah kalau output-nya kurang. Satu pemberitaan kalau sudah strategis dan bagus, nilainya akan menjadi lebih tinggi. Inilah yang juga harus kita cari tahu.
Sebenarnya langkah-langkah apa yang harus dilakukan agar strategi komunikasi tidak melenceng?
Semua kementerian harus melihat visi misi negara yang telah ditetapkan oleh presiden. Visi misi negara selanjutnya dijabarkan oleh setiap kementerian/lembaga pemerintah sehingga masing-masing memiliki rencana strategis (renstra) selama lima tahun.
Renstra itu belum lengkap tanpa ditunjang dengan renstra komunikasi. Renstra komunikasi berfungsi untuk menerjemahkan renstra dalam bentuk program dan kegiatan sehingga semua kegiatan program komunikasi di tiap kementerian/lembaga pemerintah sudah tertata dan mengacu kepada visi misi negara kita. Nah, pertanyaan saya, mereka punya atau tidak renstra komunikasi?
Untuk itu, saya ingin sekali mendapat kesempatan mewawancarai beberapa menteri untuk mengetahui permasalahan yang sebenarnya. Kalau memang benar, di mana letak kesalahannya? Yang dimaksud melencengnya itu di mana? Apa yang bisa kita perbaiki?
Inikah yang menjadi concern Anda selama 32 tahun berkecimpung di dunia PR?
Iya. Kalau perusahaan mempunyai renstra bisnis tapi tidak memiliki renstra komunikasi selama lima tahun, wah, saya prihatin sekali. Pengarahan untuk tim komunikasi di perusahaan jadi kurang jelas.
Padahal strategi komunikasi itu ada empat lapisan. Lapisan pertama, strategi komunikasi yang mendukung renstra yang merupakan payung strategi komunikasi perusahaan. Lapisan kedua, strategi komunikasi bagi setiap kelompok pemangku kepentingan. Satu strategi tidak bisa diberlakukan untuk semua. Lapisan ketiga, strategi komunikasi dalam menghadapi isu. Ketika isu timbul, strategi komunikasi harus terpisah dari lapisan yang pertama dan kedua. Lapisan keempat, strategi komunikasi untuk krisis. Nah, kalau yang membuat strategi komunikasi itu tidak tahu, maka akan ada banyak kemungkinan tidak tepat memilih strategi.
Bagaimana awalnya Anda bisa berkarier di dunia PR?
Setelah hampir sepuluh tahun menjadi “kuli” di perusahaan orang lain (Maria sebelumnya bekerja sebagai sekretaris), saya mendapat tawaran dari teman untuk mengelola business center di Hotel Hilton. Saya mau, tapi tidak punya uang. Akhirnya disepakati, saya mengambil usaha ini tapi bayarnya dicicil tiap bulan menggunakan mata uang dolar.
Business center umumnya dimanfaatkan investor asing yang datang dan tinggal di hotel itu sebagai tempat mereka bekerja. Di tempat tersebut saya memberikan jasa pengetikan karena dulu belum ada laptop, administrasi, penempatan sekretaris paruh waktu atau permanen, pembuatan kontrak dan laporan dua bahasa, penerjemahan, dan sebagainya. Wah, numpuk pokoknya. Usaha ini berjalan lancar. Dalam kurun waktu tiga tahun, saya sudah bisa melunasi cicilan.
Sampai suatu ketika, tahun 1983, ada investor datang dan berkata, “Maria, we need PR help.” Tidak tanggung-tanggung, tawaran itu datang dari tiga perusahaan Eropa sekaligus. Saya malah balik bertanya heran, “What is PR?” Di zaman itu, tidak banyak orang yang tahu tentang PR. Agensi PR mungkin ada satu-dua saja. (rtn)