Tanpa terasa perbincangan bersama Arif Mujahidin, Communications Director Danone Indonesia, mengalir tanpa jeda selama hampir dua jam—lebih satu jam dari waktu yang dia sediakan. Dari perbincangan yang berlangsung di kantornya di Jakarta, Senin (9/10/2017), tergambar pria yang mengategorikan dirinya sebagai “PR action” ini begitu menguasai proses bisnis dari hulu ke hilir. Sebab, katanya, yang membedakan PR dengan non-PR adalah pengetahuan dan cara mereka menyampaikan pesan.
Arif Mujahidin - Communications Director Danone Indonesia
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Malang melintang di berbagai sektor industri dan perusahaan multinasional membuat ayah dari dua anak ini memiliki banyak pengalaman dari seni membangun relasi, suka duka mengatasi krisis, hoaks, sampai dinamika PR di industri FMCG. Kepada Ratna Kartika, Ricky Iskandar dan Yoko Hidayat dari PR INDONESIA, Arif berbagi kisah. Berikut ini petikannya.
Seperti apa perjalanan karier Anda?
Saya kuliah Jurusan Hubungan Internasional di Universitas Indonesia. Tadinya sudah diplot jadi dosen. Ketika masih jadi asisten dosen, ada peluang menjadi jurnalis kantor berita Jepang.
O, dulu Anda pernah menjadi jurnalis?
Iya. Bahkan, pernah sampai ikut tes untuk BBC London sekitar tahun 1995 dan diterima. Tapi saya galau berangkat ke Inggris. Ya sudah, saya menyibukkan diri menjadi wartawan di Jakarta, sempat mengelola media internal perusahaan swasta. Baru tahun 1997, saya hijrah ke dunia PR. Tepatnya, Sewu New York Life, Jakarta (sekarang Sequis Life) sebagai Assistant Manager Corporate Communication Division—bahkan sampai memiliki sertifikasi profesional di bidang asuransi. Tiga tahun kemudian, saya pindah ke PT Coca-Cola Indonesia sebagai Media Relations Manager. Tahun 2010, sebelum di Danone Indonesia, saya menjadi Head of Corporate Division di Sarihusada Danone.
Sepertinya dari dulu sampai sekarang, Anda lebih banyak berkecimpung di perusahaan multinasional, ya?
Iya. Tapi jadi banyak belajar, sih. Mulai dari belajar mengenali industri yang berbeda-beda sampai strategi ketika berhadapan dengan krisis dan isu. Contoh, ketika negara kita sedang marak soal hoaks, saya sudah punya pengalaman. Dari pengalaman berhadapan dengan hoaks, saya akhirnya tahu, ternyata hoaks-hoaks yang sedang ramai di tanah air sudah selesai dibahas di luar negeri, bahkan sejak setengah abad lalu. Awalnya ada yang menerjemahkan, ditambah unsur wow, jadinya sensasional.
Intinya, ketika menghadapi hoaks, kita harus memperkuat listening dan monitoring, sambil terus menjaga networking. Serta, membekali tim dengan pengetahuan/informasi sesuai perkembangan yang terjadi agar mereka bisa memperkuat pesan perusahaan. Namun, tetap ada disiplin dan aturan yang harus ditaati. Selanjutnya, lakukan edukasi dan komunikasi secara terus menerus. Yang terpenting saat mengatasinya adalah menyiapkan fakta untuk membantah hoaks dan mengomunikasikannya secara konsisten. rtn