Di usianya yang masih 23 tahun, Gusti yang merupakan Client Excecutive Edelman Indonesia, bertanggung jawab merencanakan, mengimplementasikan, hingga mengevaluasi aktivitas komunikasi klien. Tak jarang, ia mendapat tugas presentasi di depan klien sekelas “C level”.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Sejak mengarungi pengalaman selama dua tahun di perusahaan agensi public relations (PR) multinasional, ia berkesimpulan, PR adalah profesi yang sangat menantang. “Kadang saya suka merasa bodoh karena selalu saja ada hal baru yang saya temui setiap hari,” ujar pemilik nama lengkap Muhammad Gustiasa yang ditemui di Jakarta, Kamis (28/9/2017).
Ya, era disruptif menguatkan posisi PR sebagai enabler dari bisnis. “PR harus menjadi support business bagi perusahaan atau klien,” katanya. Untuk itu, tanggung jawab PR bukan lagi sekadar mencapai target eksposur di halaman depan media ternama, media engagement, atau media coverage. Aktivitas PR harus memberikan dampak secara keseluruhan mulai dari mengelola isu, krisis, hubungan internal dan eksternal, memastikan pesan tersampaikan, hingga adanya perubahan perilaku.
Untuk menunjang aktivitasnya itu, PR harus mengetahui informasi, isu, hasil riset terkini seputar industri yang dikelolanya. Apalagi sebagai PR di perusahaan agensi yang menangani klien dari berbagai sektor industri. “PR sudah beyond reputation dan komunikasi 3600,” kata pria yang aktif mengikuti berbagai kompetisi PR saat kuliah.
Spesifik
Kondisi ini menjadikan fungsi PR semakin banyak. Mulai dari financial communication, development communication, brand communication, public affairs communication, dan banyak lagi. Jadi, Gusti melanjutkan, sulit rasanya untuk seorang PR menjadi ahli di semua fungsi PR. Apalagi tantangan PR ke depan makin luas.
Untuk itu, para penerus PR sebaiknya menentukan minatnya untuk menguasai fungsi PR tertentu mulai dari sekarang. Dengan begitu, mereka dapat sedari dini fokus membekali diri agar menjadi ahli PR di bidang sesuai minatnya. “Lebih baik spesifik saja. Mau ahli di mana. Karena kebutuhan PR itu beragam,” ujar lulusan S1 Jurusan Ilmu Komunikasi, FISIP, Universitas Dipenogoro itu. Ia pribadi mengaku memiliki ketertarikan khusus terhadap public affairs communication karena sesuai dengan karakternya.
Bicara soal dinamika PR generasi millennials, Gusti seperti juga rekan kerjanya yang sebagian besar berusia di bawah 30 tahun, mengaku kadang terlalu kreatif. Ide yang disampaikan ada kalanya bukan lagi out of the box, tapi like there is no box. “Sementara kami tidak tahu seperti apa eksekusinya di lapangan,” katanya. Itulah sebabnya ada peran supervisor yang memberikan arahan dan bimbingan. “Selain kreatif, mereka juga ingin kami tetap realistis,” imbuh pemilik vokal bas paduan suara Undip 2012 – 2014.
Beruntung, perusahaan tempatnya bekerja mau beradaptasi dengan karakter millennials yang dikenal mudah bosan dan umumnya menolak menerima pekerjaan tanpa tujuan dan relevansi yang jelas. “Sedari awal atasan saya sudah menawarkan pilihan. Jadi, saya hanya mengerjakan pekerjaan sesuai pilihan saya,” ujar mantan ketua Riset dan Pengembangan PERHUMAS Semarang.
Kondisi ini membuatnya mampu bertahan, termotivasi untuk terus mengasah kompetensi sebagai PR karena ruang untuk belajar dibuka seluasnya. Pengalaman melakukan presentasi di depan klien tanpa ditemani supervisor, misalnya, mengajarkan Gusti untuk mau mendengarkan, meyakinkan klien yang kerap memandangnya sebelah mata, hingga akhirnya mencapai kesepakatan. “PR adalah seni berhubungan,” tutupnya. rtn