Cara perusahaan menggunakan media sosial perusahaan oleh para praktisi PR diam-diam mendapat perhatian khusus dari Junita Kartikasari, penulis buku Viral. Sebab jika salah mengunggah konten, bisa jadi malah merusak reputasi perusahaan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Para praktisi PR di mana pun, seyogianya berubah untuk mulai serius mengelola media sosial, sebagai akibat adanya perubahan perilaku konsumen (audiens). Menurut perempuan yang kini menjabat sebagai Head of Consumer and Costumer Engagement Combiphar itu, pengelolaan media sosial perusahaan tentu saja juga mesti dilakukan dengan benar dan hati-hati, tidak sekadar asal jalan. Nita –sapaan karibnya—yang ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Rabu (27/9/2017), membagi resepnya untuk hal tersebut.
Langkah pertama, mengetahui target audiens dan consumer insight tentang produk atau jasa perusahaan, jenis media sosial yang digunakan konsumen, dan lokasi yang disukai saat menggunakan media sosial. Lalu, gunakan aset yang kita punya dan lakukan kolaborasi. Inilah yang menjadikan posisi PR di era sekarang lebih strategis ketimbang marketing. “Dulu, PR hanya sebagai the speaker of the company. Sekarang, mereka harus banyak mendengar,” ujar Nita yang berpengalaman sepuluh tahun bekerja sebagai PR di P&G Indonesia maupun Asia Pacific. “Kita harus mendengarkan apa yang konsumen katakan,” imbuhnya.
Lewat cara mendengarkan kemauan konsumen, perusahaan akan memperoleh insight yang benar dan memiliki relevansi yang kuat dengan konsumen. Sehingga kampanye komunikasi perusahaan pun akan didengarkan konsumen yang secara sukarela bakal memviralkannya secara gratis. “Bahkan, dengan media sosial, perusahaan bisa memanfaatkan konsumen sebagai agen mereka,” ujarnya seraya memberi contoh video kampanye “Whip It” yang diiniasi tim PR P&G tanpa diduga diunggah Sheryl Kara Sandberg, Chief Operating Officer Facebook, melalui akun resminya dengan caption, “I know this how woman’s feel.”
Dekati “Influencer”
Langkah kedua adalah menggunakan influencer. Biarkan mereka bicara dengan gaya mereka kepada para pengkutnya. “Kalau kita yang mengarahkan dan followers tahu itu bukan gayanya, mereka tahu itu iklan dan mereka tidak mau melihat,” kata Nita. Sudah bukan masanya lagi “menyetir” influencer. Malah sebaiknya lakukan aktivasi bersama di media sosial dengan para influencer—Nita menyebutnya social orchestra. Untuk mempraktikkannya, bisa dengan memanfaatkan Google Hangout dan aplikasi lainnya. Jadilah bagian yang memengaruhi percakapan di media sosial, bukan mengatur.
Di sisi lain, di sinilah tantangannya. Karena tidak ada yang bisa mengontrol (percakapan di media sosial antara influencer dan follower), ada kalanya percakapan yang sedang berlangsung tiba-tiba diinterupsi oleh salah satu komentar warganet yang menyinggung tema sensitif. Bahkan, sampai memunculkan “peperangan” di media sosial. “Biarkan mereka bicara dan menyelesaikannya dengan cara mereka sendiri. Nanti juga reda,” katanya, santai.
Berkelanjutan
Hal ketiga, lakukan metode storytelling berkelanjutan yang sesuai dengan tema (isu), lengkap dengan kreasi konten, strategi eksekusi, dan riset selama setahun. Selama kurun waktu itu, PR menentukan apa yang mau dibicarakan dan platform apa yang akan mereka pilih.
Di zaman saat ia masih di P&G, Nita dan tim PR melakukan kampanye Head & Shoulders (H&S) menggunakan Twitter, karena Twitter merupakan salah satu media sosial yang paling banyak digunakan laki-laki. Walaupun tanpa dukungan dana PR yang fantastis, upaya Nita mengampanyekan produk-produk perusahaan terbilang sukses.
Kampanye melalui media sosial juga lebih terukur. “Kalau dulu, Key Performance Index PR dihitung dari jumlah impresi di media baik cetak maupun on-line. Sekarang, alat ukurnya makin banyak,” katanya. PR bisa mengukur social engagement dengan menggunakan fasilitas yang disediakan semua media sosial. Perhitungannya pun akurat dan dapat dipercaya. PR juga bisa mengetahui jumlah konsumen baru, menghitung jumlah audiens yang terlibat, salah satunya saat melakukan social orchestra, hingga korelasinya dengan penjualan. rtn