Bagi praktisi PR pemula, yang umumnya berusia di bawah 30 tahun, kemampuan menulis akan menjadi modal untuk menghadapi berbagai tantangan di era digital seperti maraknya hoax. Lantas bagaimana kiat menulis kreatif untuk seorang praktisi PR?
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Salah satu kemampuan yang harus dimiliki praktisi public relations (PR) adalah menulis. Bagi praktisi PR pemula, yang umumnya berusia di bawah 30 tahun, kemampuan menulis akan menjadi modal untuk menghadapi berbagai tantangan di era digital seperti maraknya hoax. Lantas bagaimana kiat menulis kreatif untuk seorang praktisi PR?
“Menulis adalah bercerita,” ujar Lahyanto Nadie, Koordinator Group Editorial Network Bisnis Indonesia, pada acara “PR Under 30 Workshop: A-Z of Public Relations, from Writing to Digital PR Strategies” yang digelar pada ajang JAMPIRO #3 di Yogyakarta, (24/8/2017).
Membawakan materi berjudul Creative Writing for Multiple Purpose, Lahyanto mengakui, seringkali menulis menjadi hal yang sulit. Ketakutan tersebut salah satu alasannya karena kurang kebiasaan membaca. “Nggak mungkin tulisannya bagus, nggak suka baca,” ujarnya.
Sebelum memulai kebiasaan menulis, Lahyanto menyarankan agar mulai berani untuk jujur. Sontak Lahyanto mengajak peserta untuk mengikuti permainan yang dipandunya. Ia meminta peserta untuk membagi menjadi dua kelompok yang terdiri dari kelompok peserta perempuan dan peserta laki-laki.
“Sekarang silakan berdiri dan urutkan dari depan yang umurnya paling muda,” kata Lahyanto memberi instruksi. Dalam waktu satu menit peserta dapat berbaris sesuai arahan. Uniknya, kelompok peserta perempuanlah yang lebih cepat.
“Kejujuran adalah mata uang yang berlaku di mana-mana ya, sekarang kelihatan mana yang lebih jujur,” canda pria alumni Universitas Indonesia ini.
Usai bermain, ia menantang peserta untuk berpura-pura sebagai wartawan. Dengan cara berpasangan, satu orang berperan sebagai wartawan bertugas mewawacarai peserta yang menjadi pasangannya. Dalam waktu sepuluh menit peserta dapat mengajukan pertanyaan sebanyak-banyaknya.
Melalui tantangan tersebut, pria yang menyukai olahraga futsal ini mengajak peserta untuk tidak ragu menggali informasi. “Meskipun Anda merasa sebagai orang yang tidak penting, Anda juga bisa jadi penting di sini,” tuturnya spontan membuat peserta tertawa.
Menurut Lahyanto, dari sosok orang biasa pun dapat dijadikan berita. Pertama karena kejadian, ia mencontohkan kasus pemilik First Travel yang merugikan 50.000 jamaah umrah. Berkaitan dengan menentukan isi beritapun, pembuatnya dapat menghubungkan dengan momentum yang sedang berlangsung.
“Sekarang Sea Games, ada kasus bendera terbalik setelah ulang tahun kemerdekaan (Indonesia). Mungkin kalau momentum lain, nggak terlalu,” kata Lahyanto. Di sisi lain, cara menyampaikannya pun disesuaikan dengan siapa yang menerima informasi.
Tantangan dari Lahyanto tersebut rupanya memunculkan kendala-kendala. Sebagian besar peserta berhasil mengumpulkan 20 jawaban dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan. “Itu termasuk sedikit, jangan merasa puas dengan informasi,” kata pria yang pernah menjadi staf pengajar Institut Bisnis dan Informatika Indonesia ini. Ia juga menambahkan, kriteria lainnya adalah kepentingan publik untuk mengetahui informasi tersebut.
Hasil dari sesi wawancara secara berpasangan kemudian menjadi bahan baku tantangan berikutnya. “Sekarang jadikan dalam bentuk feature,” kata Lahyanto. Sebelum menulis feature, peserta perlu mengumpulkan fakta-fakta dari narasumber serta bisa ditambahi ide-ide sebagai bumbu cerita.
Dari tantangan menulis tersebut, ada hal penting yang masih dilupakan oleh peserta adalah membuat kerangka tulisan. “Makanya kita harus cermat, jadi pembaca bisa merasakan tulisan kita mengalir,” saran pria penyuka pantun ini menutup sesinya. (Dian/Nif)