Informasi yang memuat unsur radikal dan terorisme beredar kian cepat dan tak terkendali di media sosial. Kondisi ini memengaruhi opini masyarakat terhadap pemerintah. Niken Widiastuti, Dirjen Informasi dan Komunikasi Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) berbagi cerita di hadapan peserta JAMPIRO #3.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO – Media sosial menjadi salah satu pilar demokrasi seiring perkembangan teknologi informasi dan maraknya publik berbagi informasi dan opininya melalui media sosial. Sayangnya, kata Niken, konten negatif lebih mudah dan cepat menyebar di masyarakat.
“Komunikasi kita saat ini berpola 10 to 90. Warganet lebih banyak menyebarkan konten negatif ketimbang positif,” ujar mantan Direktur RRI yang menjadi pembicara di acara konferensi sesi pertama Jambore Public Relations Indonesia (JAMPIRO) #3 yang diselenggarakan oleh PR INDONESIA di Yogyakarta, Rabu (23/8/2017).
Menurut Niken, problematika ini menjadi tantangan tersendiri di kalangan praktisi PR. Sebab informasi yang belum terverifikasi atau berita palsu yang beredar di masyarakat itu tidak hanya menyerang perusahaan tertentu, pemerintah, tapi juga negara. “Informasi itu mengaduk-aduk emosi publik yang berujung pada ketidakpercayaan mereka terhadap pimpinan,” katanya
Di sesi yang mengangkat tema “The Power of Public Relations in the Fake News and Hoax Era” itu, Niken lantas mengurai beberapa strategi komunikasi yang dilakukan pemerintah agar persepsi masyarakat kembali positif. Antara lain, melakukan komunikasi publik, testimoni, berdialog, dan mengangkat informasi-informasi melalui opinion leader. Tak lupa, ia juga mengimbau agar peserta bijak dalam menggunakan media sosial dan senantiasa mengedepankan prinsip AISAS (Attention, Interest, Search, Action, Share). “Yang terjadi saat ini, ada attention, langsung share, tanpa disertai fakta, data yang jelas dan dapat dipertanggungjawabkan,” ujarnya prihatin. (lok/rtn)