Suka tidak suka, generasi millennial kini mulai mendominasi dunia public relations (PR), baik sebagai pekerja maupun stakeholders yang harus dikelola perusahaan/organisasi. Bagaimana tantangan PR dalam mengelola generasi milennial?
Perusahaan atau organisasi apapun kini tak bisa mengabaikan generasi millennial. Posisi mereka baik sebagai pekerja, stakeholders, ataupun pasar makin dianggap penting. Mereka adalah generasi yang lahir tahun 1980 hingga 2000-an yang akrab dengan teknologi digital (digital savvy).
Generasi millennial kerap diidentikkan dengan lima karakteristik. Pertama, mereka menganggap jejaring sosial sebagai kebutuhan. Kedua, tidak malu mengungkapkan pendapatnya di media sosial. Ketiga, mengharapkan dilibatkan dalam setiap proses pembentukan dan pemasaran dari satu produk.
Keempat, mereka menuntut keotentikan dan transparansi. Kelima, memiliki pengaruh kuat ke orang tua dan teman-temannya. “Tapi tidak semua generasi milenial sama karakternya satu sama lain. Tergantung key segmentnya berdasarkan bagaimana mereka berpikir dan menjalani gaya hidup,” kata Account Director Isentia Jakarta Muhammad Zulkifli pada PR INDONESIA Meet Up #11 yang digelar Majalah PR INDONESIA di Jakarta, Jumat (9/6/2017).
Untuk merengkuh kaum milenial, praktisi PR perlu memahami generasi milenial lebih mendalam baik sebagai konsumen/stakeholders maupun pekerja. Mengutip Forbes, Zulkifli menyebut, sebagai konsumen, generasi milenial selalu terhubung dengan gawai di manapun. Budaya mereka senang berbagi informasi, sehingga tidak heran tersebarnya hoax disebut sebagai pekerjaan kaum milenial, karena berbagi tanpa verifikasi.
Selain itu, pendekatan hard selling tidak berlaku bagi mereka. Karena pendekatannya kini human to human sehingga aktivitas di media sosial perusahaan sebaiknya tidak untuk berjualan tapi menciptakan percakapan dan engagement. Mereka juga bergerak cepat, oleh karenanya butuh konteksi internet. Dan, loyalitas mereka nyaris mendekati titik nol, tak heran mereka mudah sekali berpindah kerja.
Kendati begitu, dari riset Edelman diketahui, milenial yang percaya pada sebuah produk, 71 persen akan membeli, merekomendasikan ke temannya, dan berbagi opini positif di medsos. Sebaliknya jika tidak menyukai perusahaan, mereka menolak membeli produknya, mengkritik habis, dan membagi opini negatif di media sosial. “Poinnya adalah di sini, baik positif atau negatif mereka sama-sama akan men-share ke audiens masing-masing,” katanya.
Adapun sebagai karyawan, ciri generasi millennial adalah, pertama, menginginkan feedback dari atasannya ketika mereka selesai mengerjakan sesuatu pekerjaan. Kedua, mereka ingin menjadi bagian dari organisasi yang mengusung nilai-nilai etika. Jika mereka di perusahaan yang tidak ada nilai etikanya mereka akan berhenti. Ketiga, mereka senang berbagi sesuatu. Masalahnya ketika mereka senang berbagi opini di media sosial dampaknya bisa berimbas ke perusahaan.
Melihat karakteristik tersebut, Zulkifli menyarankan perusahaan yang ingin membuat kampanye PR untuk menjangkau generasi millenial harus memiliki social media monitoring yang dilakukan secara reguler. Karena salah satu ciri generasi millennial adalah mereka membagi apapun yang mereka rasakan di media sosial. Dengan mengetahui apa yang mereka bagikan, perusahaan dapat mengantisipasi berbagai negative sharing kaum millennial sekaligus menjadi dasar untuk membuat strategi PR yang tepat.
Mengelola Millennial
Sementara itu, Manajer Media Relations Indosat Ooredoo Eni Nur Ifati, menilai di era millennial, perusahaan memang harus menyesuaikan diri dengan generasi baru tersebut. Di Indosat Ooredoo sendiri millennial adalah bagian penting. Milenial merupakan creator, user, sekaligus accelerator transformasi Indosat menjadi perusahaan digital. Karena itu kami membuat program PR maupun produk yang fokus pada mereka.
“Kami memahami bahwa pusat inovasi digital itu ada di anak muda. Sehingga kami mendorong inisitif PR dan CSR berbasis pada millenials dan digital yaitu engage dengan para pelaku digital start-up,” katanya.
Eni mencontohkan, pengembangan start-up dilakukan dengan tiga program, pertama menggali ide-ide aplikasi digital inovatif melalui kegaitan rutin Indosat Ooreedoo Wireless Innovation Contest (IWIC). Setelah ide muncul, mereka diajak meluncurkan ide tersebut dan dikembangkan dalam Ideabox atau inkubasi teknologi aplikasi. Tahap berikutnya mereka yang berhasil akan biayai kerjasama dengan SoftBank dari Jepang. “Salah satu jebolan IWIC adalah pendiri Bukalapak (Ahmad Zaky),” tutur perempuan berhijab itu.
Di tempat yang sama, perwakilan generasi millennial, Florencia Dwi, mengungkapkan pengalamannya memasuki dunia kerja dan berinteraksi dengan generasi yang lebih senior. Menurut Flo, sapaan akrabnya, salah satu ciri generasi millennial adalah berani mengungkapkan opininya. Itu juga yang menjadi modalnya melamar di perusahaan transportasi saat pertama kali bekerja pada usia 21 tahun dengan mengirimkan email ke presiden direktur perusahaan tersebut.
Gadis yang kini menjadi Communication and Bussiness Development Manager Diamond Cold Storage, mengakui meski pengalamam generasi millennial sedikit, tapi banyak hal yang bisa diketahui dari bermodal gawai, sehingga dari sisi pengetahuan tidak kalah dari seniornya. Soal loyalitas yang banyak dinilai rendah, ia memiliki perspektif berbeda. Loyaitas generasinya adalah kepada passion-nya. Tapi keunggulannya adalah mereka sangat menguasai digital, manajemen waktu bisa sangat cepat, dan memiliki motivasi tinggi.
“Kelebihan ini bisa dimanfaatkan perusahaan. Apalagi mereka memiliki motivasi yang sangat tinggi. Ini sangat menguntungkan perusahaan,” kata Flo sembari berpesan bahwa meski millennial kini mulai banyak memegang posisi manajer tapi berharap agar tidak ditinggalkan generasi seniornya yang memiliki pengalaman dan kebijaksanaan yang penting untuk memberikan nasihat.
Bagaimana generasi millennial berkiprah di pemerintahan? Lizzatul Farhatiningsih, Icon PR Indonesia 2016 dan Pranata Humas Kemeneterian Perdagangan mengungkapkan, di pemerintahan, generasi milenial menjadi garda terdepan menggerakkan pendekatan baru PR pemerintah melalui digital.
Beragam konten kreatif mereka produksi dan sebarkan untuk membantu program pemerintah, baik berdasarkan isu maupun dengan menciptakannya agenda setting sendiri. “Memang karakteristik umumnya mereka senang selfie, maunya senang-senang saja tidak suka serius, tapi sebenarnya mereka kreatif,” katanya.
Bagi Tipuk Satiotomo selaku Ketua Umum APPRI, generasi milenial sekarang tidak bisa diabaikan. Sekarang siapapun harus memperhitungkan generasi millennial. “Jangan lihat mereka tidak loyal dan selfish. Buat mereka loyal, itu yang diutamakan,” katanya sembari mengungkapkan bahwa APPRI sangat terbuka dengan generasi millennial dan akan mendorong anggotanya untuk mengakomodir aspirasi para milennials. (Hanifudin Mahfuds)