Identitas memiliki manfaat yang tak ternilai bagi perusahaan. Identitas perusahaan menunjukkan budaya dan kepribadian perusahaan dalam menjalankan bisnis.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Menurut President Director of Prominent PR Ika Sastrosoebroto mengajak praktisi PR membangun corporate identity (identitas perusahaan). corporate identity dapat dilihat dari corporate design, corporate culture, corporate structure, corporate strategy, dan industry identity. “Identitas yang kuat dapat meningkatkan kesadaran dan kepercayaan pelanggan terhadap suatu perusahaan, meningkatkan daya saing, hingga mampu menekan pengeluaran (efisiensi),” katanya kepada PR INDONESIA, awal Februari lalu.
Lalu, di mana kaitannya antara PR dengan identitas perusahaan? “PR is all about image,” kata Ika. Image itu intangible dan tidak gampang dikontrol. Perusahaan tidak bisa terus-menerus membangun image melalui iklan. Satu-satunya cara perusahaan untuk mendapatkan citra positif dalam jangka panjang adalah dengan memasukkan program PR sembari terus melakukan aktivitas bisnis dengan baik. “Karena PR is how to tell,” ujarnya.
PR juga mewakili kepentingan brand. “PR tahu stepping brand dari public awareness sampai loyalty beyond reason sehingga timbul perception saliance—persepsi yang tertanam kuat sehingga tak mudah rusak meski ada goncangan,” paparnya.
“Brand Architecture”
Ia lantas mengajak praktisi PR untuk menghubungkan corporate identity kepada brand identity dan brand image. Langkah pertama, kenali dulu brand architecture perusahaan masing-masing. Brand architecture adalah arsitektur sebuah merek yang didefinisikan oleh hubungan antara merek induk (parent brand) dengan sub-merek (sub-brands). “Sederhananya, parent brand adalah korporat, sub-brands adalah produk,” ujarnya.
Brand architecture dibagi empat tipe. Antara lain, Freestanding Brand Model (P&G atau Unilever dengan berbagai merek dan produk mulai dari deodoran, kosmetik, perawatan bayi, perawatan rambut, dll), lalu Endorsed Brand Model (Nabisco—menjual berbagai aneka camilan biskuit). Selain itu, Overbrand Model (Cimory—produknya beragam tapi dari bahan baku yang sama) dan Masterbrand Model (Lays atau Indomie—produknya serba keripik atau mi instan, yang membedakan hanya variasi rasa).
Perbedaan ini akan berhubungan dengan keleluasan berinovasi. Semakin sebuah produk tidak ada kaitannya dengan parent brand, makin tinggi inovasi yang bisa dilakukan. Freestanding Brand Model, misalnya, baik parent band maupun sub-brands bebas berinovasi 100 persen. Sementara inovasi untuk perusahaan bertipe Endorsed Brand Model, 90 persen dan Overbrand Model 50 persen. Sedangkan inovasi sub-brands untuk perusahaan bertipe Masterbrand Model hanya 10 persen. “Korporasi sangat menguasai di sini,” kata Ika.
Menurut Ika, masalah komunikasi biasanya paling sering terjadi jika perusahaan tersebut bertipe Freestanding Brand Model. Tiap sub-brand berebut perhatian agar dapat menempati persepsi terunggul. Dalam situasi ini, ia mengimbau agar parent brand memosisikan dirinya sebagai endorser atau payung. Parent brand bertugas menstimulasi anak-anaknya untuk menciptakan karya. Selanjutnya, karya yang paling kreatiflah yang akan menjadi prioritas pertama, kedua, dan seterusnya. Keluarlah kemudian yang namanya priority objective. “Dengan cara ini, hubungan antara parent brand dengan sub-brands tetap harmonis karena masing-masing tahu posisi dan kegunaannya,” ujarnya.
Tak lupa Ika memberi “bocoran” lima karakteristik yang umumnya dimiliki perusahaan-perusahaan besar saat menentukan merek. Yakni, does it stick, short is sweet, they're functional, it tells a story, they invent a new language. “Sesederhana Steve Wozniak menamakan perusahaan mereka, Apple, hanya karena terinspirasi oleh tempat tinggal Steve Jobs di Oregon yang dikelilingi pohon apel. Atau, Häagen-Dazs, merek es krim asal negeri Paman Sam yang terdengar seperti bahasa asing di tengah masyarakat Kota New York, padahal tak memiliki makna apa pun,” katanya seraya tertawa. rtn