Tidak ada organisasi yang imun dari krisis, karena itu setiap organisasi hendaknya melakukan persiapan terbaik untuk menghadapinya.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Untuk membekali kemampuan komunikasi krisis bagi para praktisi public relations (PR) di dunia kesehatan, Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kementerian Kesehatan (Kemenkes) menggelar Talkshow PR Berbagi Pengalaman dan Penanganan Komunikasi Krisis bertema "Eksis Ketika Krisis", di Gedung Sujudi, Kantor Kemenkes, Jakarta, Selasa (25/4/2016).
Acara yang dipandu oleh Kepala Subbidang Opini Publik Anjari Umarjianto menghadirkan pembicara N. Nurlaela Arief (Head of Corporate Communications PT Biofarma) dan Fida Chalid (Wakil Direktur Marketing dan PR Rumah Sakit Harapan Bunda - RSHB).
Acara ini dibuka oleh Kepala Biro KPM Kemenkes Oscar Primadi. Di depan puluhan praktisi PR industri kesehatan, Oscar berharap acara ini dapat menumbuhkan kesiapan mereka dalam menghadapi krisis komunikasi. “Membangun jejaring komunikasi sangat penting untuk menghadapi masalah saat terjadi krisis, karena sekarang informasi sudah menjadi hak publik,” kata Oscar sembari berharap ke depan pertemuan tersebut digelar rutin.
Pada sesi talkshow, Nurlaela Arief menceritakan pengalamannya dalam mengelola krisis saat Bio Farma diterpa kasus vaksin palsu. Menurut dia, ada banyak cara merespons saat terjadi krisis, namun Bio Farma memilih cara remain quiet. “Ketika terjadi krisis jangan terlalu cepat merespons, tetaplah tenang dan kumpulkan dulu data dan informasi selengkap-lengkapnya, berikan respons pada saat yang tepat,” katanya.
Sementara itu, Fida Chalid menyampaikan empat pelajaran bermakna dari krisis yang menimpa RSHB. Pertama, teamwork yang solid merupakan kunci untuk menangani krisis. Kedua, manajemen komunikasi krisis yang efektif dapat meminimalisir dampak yang timbul. Ketiga, komunikasi dengan sistem pendukung organisasi dapat menjadi jalan keluar saat terjadi situasi dead locked.
“Keempat, kasus ini memhuat kami menjadi organisasi yang lebih kompak, kuat, dan menghargai satu sama lain. Tapi tentu tidak seharusnya perubahan dan perbaikan organisasi terjadi hanya setelah melewati krisis,” pungkasnya. (nif)