PEKALONGAN, PRINDONESIA.CO - Rumah Batik TBIG, salah satu program corporate social responsibility (CSR) bidang budaya PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), pada Kamis (6/4/2017), genap berusia tiga tahun. Untuk merayakan hari bahagia tersebut, berbagai kegiatan digelar di Wiradesa, Pekalongan, mulai pengobatan gratis dengan Mobil Klinik (Monik) TBIG bagi warga sekitar, media tour, hingga syukuran.
Selama tiga tahun berjalan, Rumah Batik TBIG telah menjadi wadah belajar membatik gratis bagi 287 siswa setingkat SMP, SMA, dan bahkan mereka yang putus sekolah. Namun, sayangnya sebagian besar tak bertahan hingga lulus. Alhasil, Rumah Batik TBIG baru mampu meluluskan tiga orang pembatik, yaitu Agung (batik tulis), Rizal (hokokai), Ilham (fokus di e-commerce).
Syukuran hari jadi ketiga Rumah Batik TBIG yang berlangsung Kamis malam (6/4/2017) dihadiri oleh Chief of Business Support PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG) Lie Si An. Pria asal Semarang ini mengaku bersyukur bisa hadir langsung di depan keluarga besar Rumah Batik TBIG. “Hari ini seperti nostalgia tiga tahun lalu waktu pertama kali kesini. Dulu di depan belum ada tanaman, sekarang sudah banyak berkembang. Terima kasih segenap kontribusi bapak dan ibu,” kata Lie membuka sambutan.
Ditemui PR INDONESIA usai acara, Lie menyampaikan, Rumah Batik TBIG dan berbagai kegiatan yang digelar di dalamnya merupakan bukti komitmen dan kesungguhan hati manajemen TBIG dalam menjalankan program CSR untuk masyarakat. Setelah meluluskan tiga pembatik, tahun ini Rumah Batik TBIG akan mengambil sejumlah terobosan agar makin maju dan bertambah manfaatnya bagi masyarakat sekitar.
Salah satu strategi yang sempat dibocorkan Lie untuk meningkatkan jumlah lulusan adalah melalui model management trainee seperti yang berlaku di perusahaan. “Kalau tahun ini kita start satu angakatan dulu, targetnya 4-5 lulusan. Tahun depan jumlah angkatannya bisa ditambah,” ujar Lie optimis.
Untuk mengatasi rendahnya minat generasi muda terhadap kegiatan membatik, TBIG akan terus melakukan sosialisasi ke sejumlah sekolah dan pesantren yang ada di sekitar Wiradesa, Pekalongan, tempat Rumah Batik TBIG berdiri. TBIG mengajak agar siswa peduli pada masa depan warisan budaya bangsa, yaitu batik. Salah satunya dengan belajar membatik. “Sekarang saya dengar siswa yang berminat belajar membatik mulai bertambah,” kata Lie.
Progam belajar membatik gratis ini dilakukan setiap hari usai pulang sekolah selama dua jam. Pengajarnya adalah para trainer profesional batik yang berasal dari Politeknik Batik maupun perajin batik lokal. Kurikulum yang diajarkan di Rumah Batik TBIG adalah desain, pembatikan, pewarnaan, penyempurnaan, manajemen, dan pemasaran. Mereka yang akan magang juga diberikan kesempatan.
Kepala Departemen CSR TBIG Fahmi Alatas menambahkan, Rumah Batik TBIG merupakan program pelestarian budaya batik berbasis wirausaha mikro. Selain Rumah Batik TBIG, di area yang sama juga ada Koperasi Bangun Bersama (KBB) yang dibuat untuk menyediakan pembiayaan mikro dan akses permodalan kepada para pembatik skala kecil di wilayah Pekalongan. “Kami juga membantu memasarkan hasil kerajinan batik mereka, baik sebagai souvenir perusahaan maupun disertakan dalam berbagai pameran,” katanya.
Di tengah booming industri wisata, Rumah Batik TBIG juga melihat potensi mengembangkan wisata batik di Pekalongan. Hal ini telah diawali beberapa bulan lalu oleh para karyawan sub kontraktor TBIG. Rute yang bisa dikembangkan yaitu belajar membatik di Rumah Batik TBIG, menyaksikan pembibitan kopi hutan di Hutan Sokokembang sekaligus menikmati kopi owa, dan ke berbagai air terjun yang ada di sekitar Petungkriyono.
Salah satu langkah Koperasi Bangun Bersama TBIG untuk turut mengembangkan petani kopi di sekitar wilayah hutan Sokokembang adalah memberikan bantuan pinjaman lunak tahap pertama sebesar Rp 10 juta kepada Tasuri dari UKM Sokokembang, Desa Kayupuring, Kecamatan Petungkriyono, Kabupaten Pekalongan. Bantuan diharapkan dapat meningkatkan usaha “Kopi Owa” yang limbah kulitnya digunakan untuk bahan pewarna alam di Rumah Batik TBIG.
Butuh Keseriusan
Ditemui di sela kegiatan membatik, Rabu (5/4/207), salah satu alumni Rumah Batik TBIG, Agung, mengakui butuh keseriusan untuk menjadi pembatik profesional. Demi menjadi pembatik, Agung yang sebelumnya bekerja pun memutuskan berhenti dan fokus belajar membatik selama setahun tanpa mendapatkan upah. Akhirnya, keseriusannya berbuah manis setelah setahun lebih ia belajar membatik dari nol hingga karyanya bisa dipasarkan.
Banyak tantangan yang ia hadapi sebagai pelaku usaha batik yang baru, mulai dari permodalan hingga pemasaran. Sejauh ini, Agung mengaku sangat terbantu dengan Rumah Batik TBIG dan KBB yang membantu memasarkan produknya. Selain itu ia juga memasarkan produk melalui media sosial.
Batik tulis yang dihasilkan Agung kini dijual dari harga Rp 750 ribu hingga jutaan rupiah. Dalam sebulan omzetnya rata-rata 6 sampai 7 kain. Pesanan datang dari Jakarta, Bandung, hingga Sumatera. Salah satu karya yang ia banggakan adalah karya batik gradasi dan sintetis dengan motif merak yang ia beri nama Sekar Jagat Varda Paulina.
Sementara itu alumni lainnya, Rizal, yang lahir dari keluarga pembatik, mengaku banyak mendapatkan ilmu selama belajar di Rumah Batik TBIG. Bukan hanya belajar membatik, tapi juga belajar menjadi wirausaha batik. “Saya dimotivasi untuk ikut melestarikan budaya lokal. Karena banyak teman seusia saya tidak mau belajar batik. Alhamdulillah sekarang saya sudah bisa membatik dan usaha saya berjalan dengan 3 orang pembatik di rumah,” katanya.
Melahirkan generasi baru pembatik di kota yang mem-branding dirinya sebagai The City of Batik, ternyata tidak mudah. Upaya TBIG merupakan ihtiar mulia yang patut didukung agar kelestarian batik tulis dan cap terus terjaga di tengah masifnya industri batik printing. Jika proyek percontohan ini berhasil, TBIG akan menduplikasi di daerah lain dengan fokus yang disesuaikan dengan kearifan lokal, misalnya tenun atau songket. (Nif)