Butuh waktu 20 tahun untuk membangun sebuah reputasi, dan lima menit untuk menghancurkannya. (Warren Buffet, investor, pengusaha, filantropis).
JAKARTA, PR INDONESIA. CO - Tak ada bantahan dari pernyataan di atas karena seperti itulah realitanya. Adalah public relations (PR), sosok yang berperan menyusun lalu membangunnya kembali ketika reputasi itu hancur. Dan, begitu seterusnya. Pengalaman jatuh yang dialami pelaku PR, serta upaya mereka membangun dan merebut kembali kepercayaan publik inilah yang dibawa ke hadapan peserta workshop yang diselenggarakan PR INDONESIA di Belitung, Kamis (8/12/2017).
Anjari Umarjianto, Kepala Subbag Opini Publik, Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) mengungkap betapa sulitnya membangun persepsi baik di tengah rendahnya kepercayaan publik terhadap birokrasi. Di kala arus mulai mengalir tenang, berjalan sesuai rencana, tiba-tiba pertengahan Juni 2016, aparat kepolisian mengungkap kasus vaksin palsu. Sontak mereka tersentak, “Kok, ada petir?” Ini dikarenakan vaksin tergolong kategori high technology, rumit, dan izinnya sulit.
Seketika keseharian pria berkacamata itu berubah. Sehari setelah kasus muncul ke permukaan, ia bersama tim Biro Komunikasi dan Pelayanan Masyarakat Kemenkes sibuk menyusun konsep penanganan krisis. Isinya mencakup 12 pandangan narasumber yang selanjutnya–setelah dikoreksi Menteri Kesehatan Nila Moeloek—menjadi selembar rilis untuk disebarkan kepada wartawan saat konferensi pers keesokan harinya.
Ia mencatat beberapa pelajaran penting selama menghadapi krisis ketika itu. Antara lain, samakan resonansi, the power of lobbying, bentuk tim krisis/satgas, pilih jubir, tentukan talking point, tuai manfaat dari relasi yang sudah terjalin harmonis baik dengan media maupun blogger.
Jika Anjari berjibaku dengan rendahnya kepercayaan publik kepada pemerintah, maka, Tofan Mahdi, Head of Republic Relations PT Astra Agro Lestari Tbk, berperang melawan kampanye hitam. Alhasil, industri kelapa sawit tempatnya bekerja dimusuhi publik dunia, termasuk publik di negeri sendiri.
Gelagat ini sudah lama diendus Astra Agro. Sejak 2009, PR yang tadinya hanya sebagai subdivisi di bagian investor relations, akhirnya dipisah menjadi divisi yang berdiri sendiri. Pun demikian dengan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI). Setalah ia bergabung, asosiasi ini memutuskan untuk membentuk Divisi Komunikasi.
Bangun Kedekatan
Lain lagi pengalaman Manajer Hubungan Masyarakat PT Petrokimia Gresik (PG) Yusuf Wibisono. Sebagai perusahaan yang pusat operasionalnya ada di daerah, tepatnya di Gresik, Jawa Timur, otomatis media yang dikelola pun tak sebanyak di ibukota. Meski begitu, mereka tetap menggarapnya serius. Apalagi, PG adalah perusahaan yang bergerak di bidang kimia, berpotensi memberikan dampak negatif terhadap lingkungan dan rawan “gesekan” dengan masyarakat sekitar. “Kinerja operasional kami harus dan sudah memenuhi standar internasional,” ujarnya.
Membangun kedekatan personal dengan jurnalis, organisasi wartawan, dan B to B dengan perusahaan media menjadi kuncinya. Program triwulan Petrokomia Media Award pun pantas ditiru. “Tanpa kami minta, mereka mencari sendiri bahan tulisan tentang kami,” ujarnya seraya menambahkan hingga November 2016, tercatat 750 berita tentang PG dan 95 persennya memuat berita positif.
Namun dibalik kesuksesan itu, ada proses memahami siapa kita dan profesi kita. Menurut Presiden Direktur Prominent PR Ika Sastrosoebroto, karena ketidaktahuan itulah masih banyak mispersepsi tentang profesi PR. Di antaranya, PR sama dengan regu pemadam kebakaran, pembela diri, mengerjakan konferensi pers saja, identik dengan wanita cantik. Tugas PR terjebak hanya seputar “recovery, not preventing”, EO, dan “alat membeli” pers.
Padahal sejatinya, tugas PR berkaitan dengan sosialisasi, membina hubungan dua arah dan sejajar antara internal dan eksternal, mencegah konflik, konseling, analisa, riset pendapat, meningkatkan tanggung jawab sosial, hingga menyangkut mengelola sikap dan harapan publik pada perusahaan. Ratna Kartika