Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN), Tuhu Nugraha berpendapat, AI hanya sebagai alat rekomendasi, kemampuan praktisi humas menjadi penentu hasil akhir produk komunikasi.
YOGYAKARTA, PRINDONESIA.CO - Manfaat kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dalam dunia kehumasan bukan lagi sekadar klaim. Hal ini disampaikan oleh Principal of Indonesia Applied Digital Economy & Regulatory Network (IADERN) Tuhu Nugraha dalam diskusi daring Road to PR INDONESIA Awards (PRIA) 2025, Jumat (21/2/2025).
Pria yang akan mengampu workshop PR INDONESIA Awards (PRIA) 2025 bertajuk Generative AI dalam Kehumasan pada Selasa, (25/2/2025), itu mengungkapkan, hampir semua pekerjaan humas saat ini sudah dapat dibantu oleh AI. "Perkembangan AI ini sangat pesat, bahkan panduan pemakaiannya pun sudah dibuat," ucapnya.
Dalam pengamatannya, Tuhu menjelaskan, AI dapat digunakan praktisi humas untuk monitoring media, pembuatan siaran pers, strategi komunikasi, manajemen krisis, hingga pengukuran hasil komunikasi yang cocok dengan tujuan organisasi. Meski, imbuhnya, masih ada bias dalam hasil yang diberikan oleh AI.
Oleh karena itu, tegasnya, pengetahuan praktisi humas menjadi penting karena akan menentukan hasil akhir produk komunikasi. "Ketika apapun yang keluar dari AI, kita perlu membaca ulang dan mengkritisinya. Kemudian membandingkannya dengan pengetahuan yang dimiliki praktisi humas. Hasil akhirnya adalah olahan data AI dengan point of view dari praktisi humas sesuai dengan tujuan organisasi," jelasnya.
AI Sebagai Alat Rekomendasi
Adapun agar praktisi humas dengan pemanfaatan AI tidak memberikan informasi dan data yang keliru kepada khalayak, menurut Tuhu, perlu ditanamkan prinsip bahwa AI hanyalah alat pemberi rekomendasi. "Dari rekomendasi yang dihasilkan, kita yang harus menentukan apakah ini relevan atau tidak," ucap penulis buku Rahasia Metaverse: Dunia Baru & Peluang Masa Kini (2022) itu.
Terlebih, Tuhu menilai, tantangan penggunaan AI di Indonesia adalah basis data organisasi yang masih berantakan, tidak lengkap, dan belum terdigitalisasi. Selaras dengan itu, tandasnya, organisasi juga perlu terbuka dengan penggunaan AI. "Syukur-syukur organisasi atau perusahaan punya aturan etika tersendiri dalam penggunaan AI," pungkasnya. (ARF)