Mencermati dinamika di tubuh Kabinet Merah Putih, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muslim Indonesia Makassar Muhammad Idris menegaskan, komunikasi publik sebagai kompetensi wajib bagi pejabat pemerintahan bukan sekadar kemampuan berbicara di depan umum.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kabinet Merah Putih di bawah komando Presiden Prabowo Subianto sudah berjalan lebih 100 hari. Dalam perjalanannya itu, terdapat banyak catatan dari publik yang perlu ditindaklanjuti. Utamanya menyoal komunikasi publik para pejabat pemerintah, yang sejauh ini dinilai belum efektif dalam rangka mengharmoniskan hubungan dengan masyarakat.
Pernyataan Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana yang mengusulkan serangga menjadi menu dalam program Makan Bergizi Gratis (MBG), misalnya, dianggap tidak sensitif terhadap persepsi publik. Ditambah Menteri Hukum Yusril Ihza Mahendra menyebut peristiwa 1998 bukan merupakan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) berat.
Di lain bidang, Menteri Kelautan dan Perikanan (KKP) Wahyu Trenggono kedapatan terlibat perselisihan dengan TNI Angkatan Laut terkait pembongkaran pagar laut di Kabupaten Tangerang. Hal tersebut secara tegas mempertontonkan lemahnya koordinasi antarinstansi dalam menangani isu strategis.
Tak hanya di level menteri, Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka pun sudah beberapa kali tersandung isu komunikasi. Salah satunya terkait peluncuran kanal pengaduan ‘Lapor Mas Wapres’, yang dianggap tidak efektif karena tumpang tindih secara fungsi dengan aplikasi SP4N LAPOR.
Komunikasi Publik Bukan Asal Bicara
Mencermati dinamika di tubuh Kabinet Merah Putih, Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Universitas Muslim Indonesia Makassar Muhammad Idris menegaskan, komunikasi publik sebagai kompetensi wajib bagi pejabat pemerintahan bukan sekadar kemampuan berbicara di depan umum. “Komunikasi publik adalah seni membangun hubungan, menciptakan pemahaman, dan menumbuhkan kepercayaan masyarakat,” tulisnya di laman Tribun-Timur.com, Senin (3/2/2025).
Dalam konteks ini, Pengurus Ikatan Sarjana Komunikasi Indonesia (ISKI) Sulawesi Selatan itu menjelaskan, seorang pejabat negara harus mampu menyampaikan pesan dengan jelas, berempati, solutif, dan relevan dengan konteks sosial yang dihadapi masyarakat. “Pada akhirnya, komunikasi publik yang efektif adalah kunci menciptakan pemerintahan transparan, akuntabel dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat,” imbuhnya.
Idris berpendapat, ada beberapa hal yang dapat menjelaskan mengapa pejabat negara cenderung minim kemampuan komunikasi publik. Pertama, karena tidak dibekali pelatihan maupun pembekalan sebelum pelantikan.
Kemudian, kultur birokrasi yang hirarkis dan kaku, menurutnya, juga berkontribusi menciptakan pejabat dengan gaya komunikasi satu arah, konstruktif, dan tidak menimbang umpan balik dari publik. “Terakhir, kurangnya kesadaran akan pentingnya komunikasi publik,” ucapnya.
Poin terakhir tersebut, kata Idris, membuat para pejabat negara tidak menyadari bahwa setiap ucapan dan tindakan mereka dapat memengaruhi persepsi dan kepercayaan publik. Oleh karena itu, tandasnya, pejabat negara perlu memahami bahwa komunikasi publik yang efektif tidak hanya dapat menjembatani kesenjangan komunikasi, tetapi juga membangun kepercayaan dan dukungan publik. (RHO)