Buku Mega Krisis Bank Mandiri 2005, yang diluncurkan pada Rabu (15/1/2025), tidak hanya menjadi catatan penting bagi Bank Mandiri, tetapi juga sebagai pelajaran untuk semua institusi tentang bagaimana menghadapi badai dengan kepala tegak.
JAKARTA, PR INDONESIA – Pada tahun 2005, PT Bank Mandiri Tbk sempat dihantam badai besar krisis. Salah satu pemicunya adalah kebocoran laporan keuangan. Dua dekade kemudian, perjalanan bank pelat merah itu untuk bangkit hingga bisa tetap bersinar sampai sekarang, diceritakan secara komprehensif dalam buku Mega Krisis Bank Mandiri 2005 (2025).
Direktur Utama Bank Mandiri periode 2005 – 2010 Agus Martowardojo dalam seminar dan bedah buku yang dilangsungkan di Hotel The Westin, Jakarta, Rabu (15/1/2025), mengenang, kala itu kredibilitas bank dipertanyakan oleh publik dan pemangku kepentingan, karena adanya kebocoran laporan keuangan, lonjakan non-performing loan (NPL) hingga 27 persen, serta penurunan laba bersih dari Rp5,2 triliun menjadi hanya Rp600 miliar.
Namun, dalam perjalanannya, kata Agus, krisis tersebut justru menjadi titik awal bagi transformasi besar-besaran Bank Mandiri yang mencakup perbaikan tata kelola, manajemen risiko, hingga budaya organisasi. “Tiga tahun pertama untuk back on track, tahun keempat mengungguli pasar, dan tahun kelima untuk membangun endgame,” ujarnya menjelaskan strategi yang dikomunikasikan secara konsisten untuk kembali membangun kepercayaan.
Memperkaya pandangan mengenai krisis dan upaya yang dilakukan Bank Mandiri, founder Imogen PR Jojo S. Nugroho berpendapat, kasus tersebut menegaskan bahwa komunikasi yang strategis dapat menyelamatkan reputasi dan mendorong perubahan organisasi. “Krisis yang dikelola dengan baik, seperti dilakukan Bank Mandiri, justru bisa menjadi katalisator perubahan,” terang pakar komunikasi krisis tersebut.
Poin penting yang perlu digarisbawahi dari pengelolaan krisis oleh Bank Mandiri, tambah Jojo, adalah transparansi. Menurutnya, keberanian Bank Mandiri untuk bersikap terbuka di bawah tekanan publik dan parlemen, menunjukkan komitmen terhadap tata kelola yang baik. “Ini adalah fondasi utama untuk membangun kembali kepercayaan,” imbuhnya.
Dokumentasi untuk Masa Depan
Iskandar Tumbuan, mantan praktisi komunikasi di Bank Mandiri yang menjadi salah satu penulis buku Mega Krisis Bank Mandiri 2005, mengatakan, dalam buku tersebut pembahasan yang terentang bukan hanya tentang strategi transformasi. Menurutnya, di sana para pembaca juga dapat mempelajari bagaimana komunikasi menjadi jantung dari pemulihan. “Dengan narasi inklusif dan strategi komunikasi terarah, kami berhasil menunjukkan bahwa Bank Mandiri adalah institusi yang responsif dan inovatif,” ucapnya.
Membaca buku Mega Krisis Bank Mandiri 2005, CEO Celebes Media Group Andi Suruji menegaskan, pendokumentasian krisis semacam ini penting dilakukan untuk bekal bagi generasi mendatang. “Buku ini tidak hanya menjadi catatan penting bagi Bank Mandiri, tetapi juga sebagai pelajaran untuk semua institusi tentang bagaimana menghadapi badai dengan kepala tegak,” jelasnya.
Menurut Andi, pelajaran besar yang disuguhkan buku tersebut adalah tentang bagaimana strategi yang tepat, bisa mengubah potensi kehancuran menjadi kisah sukses inspiratif. “Bank Mandiri dalam krisis itu tidak hanya berbicara kepada publik, tetapi juga kepada hati mereka yang terlibat dalam proses transformasi itu,” tandasnya menggarisbawahi kekuatan narasi Bank Mandiri dalam membangun kepercayaan. (RHO)