Peneliti komunikasi dan media sekaligus dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran S. Kunto Adi Wibowo, Ph.D., berpendapat, sejak awal isu kenaikan PPN menjadi 12 persen mencuat, komunikasi pemerintah jauh dari kata jelas dan transparan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Beragam reaksi berkembang di masyarakat menyoal rencana kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari yang semula 11 persen, menjadi 12 persen di 2025. Peneliti komunikasi dan media sekaligus dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Padjadjaran S. Kunto Adi Wibowo, Ph.D., menilai, hulu dari kisruh yang terjadi adalah ketidakjelasan informasi dari pemerintah sejak awal isu mencuat ke publik. Menurutnya, komunikasi pemerintah jauh dari kata jelas dan transparan.
Pendapat itu ia dasarkan pada kemunculan influencer dengan narasi kewajaran kenaikan PPN, hingga pernyataan satu pejabat tinggi yang berbeda dengan penjelasan pihak terkait di kemudian hari. “Pimpinan Komisi XI DPR RI usai bertemu Presiden Prabowo bilang yang kena PPN 12 persen itu hanya barang mewah. Kemudian muncul daftar barang terkena PPN 12 persen yang di dalamnya tidak hanya barang mewah,” ujarnya Kunto ketika dihubungi PR INDONESIA, Selasa (24/12/2024).
Mengingat kompleksitas isu, ditambah jarak kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen yang hanya tiga tahun, Kunto menilai, pemerintah seyogianya harus memprioritaskan komunikasi terhadap penjelasan yang memadai mengenai urgensi implementasi kebijakan.
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto seperti dikutip dari ANTARA News, Selasa (22/10/2024), telah mengurai sejumlah alasan yang melatarbelakangi kenaikan PPN menjadi 12 persen. Di antaranya untuk mendongkrak pendapatan negara, mendanai program pemerintah, mengurangi ketergantungan pada utang luar negeri, dan menyesuaikan dengan standar internasional.
Komunikasi yang Transparan dan Berempati
Meski demikian, Kunto menilai pemerintah masih “berhutang” penjelasan yang transparan dan sangat meyakinkan mengenai alasan di balik keputusan menaikkan PPN. Transparansi juga ia tekankan dalam penyusunan daftar barang dan jasa yang dikenakan pajak. “Jangan kemudian menyembunyikan term and condition dengan huruf kecil, atau misal bilang jasa kesehatan tidak terdampak tetapi nyatanya obat kena PPN 12 persen,” imbuhnya.
Selain itu, lanjutnya, kesamaan suara antar pejabat tinggi juga perlu dipastikan, agar komunikasi soal kebijakan yang terkait hajat hidup orang banyak tidak terkesan main-main. “Kesan ini harus ditanggalkan dan diperbaiki dengan komunikasi empati. Jangan kemudian bilang 12 persen itu relatif rendah. Bagi sekelas menteri mungkin rendah, tetapi bagi masyarakat itu kan bisa jadi berat sekali,” tandasnya.
Sementara itu Direktur Penyuluhan Pelayanan dan Hubungan Masyarakat Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Dwi Astuti seperti dikutip dari ANTARA News, Minggu (22/12/2024), menyatakan, Kementerian Keuangan tengah mengkaji kriteria atau batasan barang dan jasa yang dikenakan PPN 12 persen secara hati-hati agar implementasinya tepat sasaran.
Hingga rincian tersebut dirilis, lanjutnya, seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa yang menerima fasilitas pembebasan PPN sebagaimana disebut dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) tidak akan dikenakan PPN. “Atas seluruh barang kebutuhan pokok dan jasa kesehatan/pendidikan pada tanggal 1 Januari 2025 akan tetap bebas PPN sampai diterbitkannya peraturan terkait,” pungkas Dwi. (lth)