Menurut Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, pemerintahan berbasis teknologi akan memastikan tata kelola yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel. Seperti apa peran government public relations (GPR)?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Perkembangan teknologi digital bisa jadi peluang bagi pemerintah untuk memperkuat transparansi dan akuntabilitas, dalam rangka mendorong budaya anti korupsi. Sebagaimana disampaikan Menteri Komunikasi dan Digital (Komdigi) Meutya Hafid, digitalisasi bukan hanya soal modernisasi teknologi.
Bagi Meutya, digitalisasi dalam konteks ini lebih kepada solusi strategis untuk mencegah kebocoran anggaran dan menutup celah korupsi. “Pemerintahan berbasis teknologi akan memastikan tata kelola yang lebih efisien, transparan, dan akuntabel,” ujarnya dalam acara Puncak Peringatan Hari Anti Korupsi Sedunia (Hakordia) 2024 di Jakarta, Selasa (17/12/2024), dikutip dari siaran pers.
Hal penting yang kemudian perlu disoroti dari inisiatif digitalisasi tersebut adalah peran government public relations (GPR), agar pemerintah dapat memperkuat kepercayaan, menyampaikan pesan secara efektif, dan mengelola persepsi publik.
Dalam praktik GPR di dunia digital, pemanfaatan platform media sosial, video edukasi, dan infografik, memungkinkan pemerintah menyampaikan dampak positif dari digitalisasi yang ditujukan mencegah kebocoran anggaran dan menutup celah korupsi. Sebagai contoh, GPR dapat membangun narasi tentang keberhasilan sistem e-procurement dan e-budgeting dalam meminimalkan praktik korupsi.
Contoh lain, GPR juga bisa mengawal peluncuran aplikasi LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) yang ditujukan mempermudah pelaporan harta kekayaan pejabat, dan mengomunikasikan bagaimana masyarakat bisa mengakses informasi di dalamnya berikut manfaatnya.
Secara garis besar, GPR harus menjadi bagian integral dalam kebijakan digitalisasi pemerintah, dengan peran mengedukasi publik tentang pentingnya transparansi sebagai bagian dari pemberantasan korupsi. (RHO)