Sejumlah ahli dan praktisi komunikasi berbagi sudut pandang mengenai perkembangan dan adopsi AI di dunia komunikasi, dalam diskusi yang diselenggarakan agensi komunikasi Vero bersama Kompas Institute.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Beberapa waktu lalu agensi komunikasi Vero bersama Kompas Institute menggelar diskusi bertajuk “Is AI Powering Your PR Strategy?”. Kegiatan yang berlangsung di Bentara Budaya, Menara Kompas, Jakarta Barat, Kamis (14/11/2024) itu, menghadirkan sejumlah ahli maupun praktisi komunikasi untuk berbagi sudut pandang mengenai lanskap kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), dan adopsinya ke dalam keseharian kerja.
Dalam kesempatan itu, Communication Lead Microsoft Indonesia Karen Kusnadi mengatakan, adopsi AI di tanah air jauh lebih tinggi dibandingkan rata-rata Asia Pasifik maupun global. Mengutip hasil survei Microsoft bersama LinkedIn di awal 2024, ia menyebut bahwa mayoritas orang Indonesia yang bekerja di balik laptop telah mengadopsi penggunaan AI.
Terlepas dari tingginya angka adopsinya di Indonesia, tantangan penggunaan AI sejatinya masih membentang. Sebagaimana disampaikan AI & Media Specialist Apni Jaya Putra, persoalan utama yang harus diatasi kini adalah kemampuan manusia memasok data berkualitas kepada AI. “AI adalah bodoh sebelum manusianya pintar,” ujarnya menegaskan bahwa AI belajar dari data yang dipasok oleh manusia sebagai penggunanya.
Menyambung Apni, wartawan investigatif sekaligus analis data Kompas.ID Aditya Diveranta berpendapat, eksistensi AI mutlak bergantung kepada manusia. Sebab, mesin tersebut tidak memiliki kemampuan memberi konteks terhadap suatu hal. “Sampai saat ini AI belum bisa disuruh melakukan reportase. Diminta bikin berita tanpa arahan yang jelas juga hasilnya masih ngarang,” kata pria yang karib disapa Dive itu.
Pengembangan AI
Dalam konteks dunia komunikasi, menurut Apni, media arus utama harus mengambil peran dalam pengembangan AI. Hal tersebut guna mengelola kepercayaan publik, menetapkan standar adopsi di industri, hingga memastikan tanggung jawab dan transparansi penggunaan. “Media besar punya standar yang tinggi, terutama dalam proses mendapatkan berita. Makanya, menurut saya, AI harus dipimpin oleh media arus utama, bukan oleh homeless media,” paparnya.
Melengkapi ahli dan para praktisi di atas, Chief Operating Officer Vero Raphael Lachkar menegaskan, penting bagi praktisi komunikasi untuk selalu bereksperimen dengan AI, guna menemukan cara penggunaan yang tepat sesuai kebutuhan pekerjaan. “Seperti untuk keadaan krisis, praktisi public relations harus senantiasa bereksperimen memaksimalkan aspek kecepatan yang merupakan keunggulan AI. Kecepatan adalah kunci dalam krisis,” pungkasnya. (lth)