Setiap influencer memiliki kekuatan yang berbeda-beda dan dapat disesuaikan dengan tujuan komunikasi organisasi. Namun, ada beberapa hal penting yang perlu dipahami dan dipastikan agar kerja sama tersebut berhasil. Apa saja hal-hal tersebut?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Peran influencer (pemengaruh) media sosial semakin penting dalam memengaruhi keputusan masyarakat. Influencer kini menjadi bagian tak terpisahkan dalam strategi public relations (PR). Banyak kampanye komunikasi di media sosial, baik yang dilakukan oleh perusahaan maupun instansi pemerintahan, melibatkan influencer untuk mencapai hasil yang lebih maksimal.
Menurut Cassandra Aprilanda, SEA Marketing Lead Spotify, menggabungkan influencer ke dalam strategi komunikasi memungkinkan perusahaan lebih mudah terhubung dengan audiens yang menjadi sasarannya. Hal ini terbukti dari kampanye “Ini Spotify Aku,” yang sukses merangkul banyak pengguna layanan musik digital tersebut.
“Dengan mengajak influencer media sosial untuk membagikan playlist mereka, banyak warganet yang termotivasi untuk ikut serta. Keaslian dan keotentikan dari para influencer menjadi kunci kesuksesan kampanye ini,” ujar Cassandra dalam workshop “Influencer Engagement to Drive Brand Growth” di Jakarta, Kamis (17/10/2024).
Cassandra menambahkan, setiap influencer memiliki kekuatan unik yang dapat disesuaikan dengan tujuan komunikasi organisasi. Namun, Agung Karmalogy, influencer dan META Creators of Tomorrow, yang turut menjadi salah satu pembicara, mengingatkan pentingnya bagi praktisi PR untuk memahami algoritma media sosial influencer yang akan diajak bekerja sama. “Hindari influencer yang algoritmanya sedang bermasalah, seperti memiliki banyak pengikut, tetapi tingkat interaksinya (engagement rate) sangat rendah,” katanya.
Memahami Tipe Influencer dan Proses Kerja Sama
Agung yang dikenal dengan ciri khas bebek kuning di kepalanya juga menjelaskan, praktisi PR perlu memahami tiga tipe influencer, baik itu mikro, makro, atau mega influencer. Pertama, content creator, yang kuat dalam pembuatan konten, tetapi lemah dalam aspek personal branding.
Kedua, internet personality, yang sering kali kuat di konten, tetapi perlu pendampingan secara ketat untuk menjaga output kerja sama selaras dengan arahan dan tujuan yang ingin dicapai. Ketiga, hybrid influencer, yang memiliki keunggulan dalam personal branding dan konten, seperti Rachel Vennya. “Dia memiliki branding yang kuat dan totalitas dalam menghasilkan konten,” tambah Agung.
Umaporn Whittaker Thompson, Chief Commercial Officer Vero, menambahkan beberapa hal yang harus dipastikan oleh PR ketika menjalin kerja sama dengan influencer. Di antaranya, mengidentifikasi peluang merek, memilih influencer yang sesuai dengan tujuan kampanye, memberikan ruang kreativitas, melacak kinerja, serta menjalin hubungan yang baik dan berkelanjutan. “Penting untuk tidak hanya menjalin hubungan yang bersifat transaksional,” kata perempuan yang karib disapa Ef itu.
Pernyataan Ef ini senada dengan pendapat Claudia Graciela Pusung, KOLs & Influencer Relations Manager Vero. Menurutnya, hubungan antara audiens dengan influencer saat ini lebih bersifat emosional daripada sekadar transaksi. “Orang tidak hanya mengikuti influencer, tapi mereka juga menyukai dan terhubung secara emosional,” jelasnya. (lth)