Di dunia PR, menanggapi permintaan media adalah keharusan sekalipun ketika organisasi belum bisa memberikan komentar. Lantas, bagaimana cara meresponsnya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Hubungan baik dengan media massa dapat dipupuk organisasi salah satunya lewat penyediaan informasi atau pemenuhan kebutuhan pemberitaan. Namun, bukan berarti praktisi public relations (PR) harus selalu menyanggupi permintaan wartawan. Ada kalanya, PR justru perlu menolak permintaan dari media. Misalnya, ketika awak media menanyakan terkait situasi yang tengah dalam masa investigasi, atau hal yang bersifat privasi.
Sejatinya, para awak media dapat memahami situasi yang tidak memungkinkan PR membagikan informasi. Namun, penting dipahami bagaimana cara menolak permintaan mereka. Sebab, menurut Vice President of External Communications E.W. Scripps Company Michael Perry, hal tersebut dapat memengaruhi bagaimana berita ditulis oleh wartawan. “Ada cara menolak berkomentar yang tetap menunjukkan rasa hormat tanpa merusak hubungan dengan media,” ujarnya seperti dikutip dari PR Daily, Selasa (8/10/2024).
Adapun ketika memberikan respons terhadap permintaan media yang belum dapat dipenuhi, kata Perry, praktisi PR seharusnya sudah meyakini dua hal. Pertama, organisasi belum memiliki informasi terbaru yang bisa dibagikan. Kedua, wawancara atau komentar di situasi saat itu dapat merugikan organisasi.
Cara yang Bisa Dilakukan
Di dunia PR, menanggapi permintaan media adalah keharusan sekalipun ketika organisasi belum bisa memberikan komentar. Jika pertanyaan yang diajukan bersifat privasi atau berada di luar kewenangan, kata Perry, praktisi PR harus memberikan respons dengan penjelasan mengenai alasan tidak bisa memberikan komentar lebih lanjut. “Menanggapi tetapi tidak bisa berkomentar lebih baik daripada tidak merespons permintaan media,” imbuhnya.
Adapun untuk persoalan yang memang belum bisa diinformasikan, lanjut Perry, praktisi PR dapat meresponsnya tanpa benar-benar menjawabnya. Di Indonesia, hal tersebut dikenal dengan istilah “menjawab untuk tidak menjawab”. Cara ini dinilai lebih efektif dibanding pendekatan pertama yang dapat ditafsirkan sebagai sikap mengabaikan atau menghindar dari pertanyaan.
Secara umum, Perry menekankan bahwa indikator paling jelas untuk memutuskan menolak permintaan media adalah kualitas liputan yang akan dihasilkan. Tak kalah penting adalah bagaimana situasi penolakan tersebut dapat memengaruhi kerja sama organisasi dengan media massa di masa mendatang. “Komunikasikan dengan rasa hormat, dan pahami bahwa hubungan jangka panjang memiliki nilai tersendiri,” pungkasnya. (lth)