Digitalisasi yang telah mengubah lanskap PR mengharuskan kerja-kerja komunikasi mengadopsi pendekatan digital. Namun, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Apa saja?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Penetrasi digital hari ini telah terjadi di seluruh lini kehidupan. Dalam konteks public relations (PR), kata AVP Public Relations PT Net Mediatama (NET) Nugroho Agung Prasetyo, hal tersebut justru sangat penting untuk komunikasi perusahaan. Menurutnya, adaptasi digital dapat meningkatkan transparansi, dan turut memastikan efisiensi dalam berbagai hal termasuk anggaran.
Meski demikian, pria yang juga menjabat Ketua Pengembangan Profesi Media ISKI Pusat itu menegaskan, platform digital hadir di dunia PR bukan untuk berdiri sendiri. Melainkan harus integral dengan strategi holistik. “Jadi penting bagi praktisi PR beradaptasi dan belajar teknologi, untuk memanfaatkan digital lewat pendekatan PR yang dibutuhkan,” jelasnya dalam Diskusi PR Bersama EGA #34 bertajuk PR Image Problem: Beyond Communication secara daring, Kamis (29/8/2024).
Lebih jauh menurut Agung, PR digital saat ini bukan lagi sekadar pilihan. Digitalisasi yang telah mengubah lanskap PR, katanya, mengharuskan kerja-kerja komunikasi mengadopsi pendekatan digital. Meski demikian, pola PR tradisional tetap harus dipertahankan dalam praktik PR digital. “Orang sekarang berpikir influencer lebih berpengaruh. Padahal pola tradisional seperti media relations tetap harus dijaga,” ujarnya.
“Agile” Tapi Jangan Latah
Meski digitalisasi telah merangsek masuk ke berbagai lini kehidupan, bagi Agung tidak semua hal dalam konteks PR harus dikonversi menjadi aktivitas digital. Menurutnya, praktisi PR kiwari harus memahami bahwa komunikasi tidak melulu harus dieksekusi secara digital, sebagaimana lobbying tidak akan paripurna jika dijalankan semata lewat platform digital.
Pemahaman akan hal semacam itu, lanjut Agung, akan membawa praktisi PR pada kebijaksanaan dalam pemanfaatan digital. Misalnya, praktisi PR akan terlebih dahulu mendalami kebutuhan terhadap suatu platform digital, sebelum benar-benar menggunakannya.
Adapun mengenai tuntutan agar PR harus senantiasa agile, menurut Agung, harus dimaknai secara luas. Dalam hal ini agile tidak semata untuk mempelajari platform digital. Melainkan juga menjalankan praktik PR dari sisi human communication, supaya bisa benar-benar terhubung dengan real human.
Hal tersebut ia tekankan karena dalam dunia digital, angka yang praktisi PR peroleh tidak bisa sepenuhnya dipercaya. “Satu orang bisa punya 1.000 akun media sosial. Sekonyong-konyong yang engage sama kita banyak, padahal itu akun hasil ternak. Jangan sampai kita tertipu hal seperti itu,” pungkasnya. (lth)