Menurut mantan Kepala AI Center ITB periode 2019-2023 Ayu Purwarianti, kehadiran artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI) punya segudang manfaat dan risiko. Apa saja?
MALANG, PRINDONESIA.CO – Segudang potensi manfaat yang ditawarkan artificial intelligence (kecerdasan buatan/AI) tidak melulu disikapi positif oleh masyarakat. Meski beragam perangkat berbasis AI terbukti dapat memudahkan pekerjaan, tetapi sebagian besar orang justru khawatir hal tersebut akan menggantikan peran manusia sepenuhnya di masa depan.
Menanggapi hal tersebut, mantan Kepala AI Center ITB periode 2019-2023 Ayu Purwarianti menegaskan, orang-orang seharusnya memandang AI sebatas alat bantu, bukan pengganti peran manusia. "AI memperkuat potensi manusia," ujarnya pada sesi workshop hari kedua dalam rangkaian acara puncak The 3rd DEI & ESG Awards (IDEAS) 2024 di Kota Malang, Kamis (25/7/2024).
Dalam konteks public relations (PR), peraih gelar Doktor bidang Computer Science dari Toyohashi University of Technology Jepang itu menjelaskan, AI dapat memperkuat potensi praktisi PR dalam melakukan monitoring media. Dalam hal ini, kecerdasan buatan memiliki kemampuan mengumpulkan data dari berbagai sumber untuk mengidentifikasi sentimen, topik utama, maupun emosi publik terhadap suatu organisasi. “AI juga dapat digunakan untuk membuat konten seperti siaran pers sesuai arahan selera PR,” jelasnya.
Meski demikian, Ayu menekankan kalau tanggung jawab dari hasil kerja AI tetap berada di tangan praktisi PR. Ini karena karena AI bisa saja memberikan hasil yang keliru atau tidak relevan. Di samping itu, tambahnya, praktisi PR juga harus bisa memberikan perintah yang spesifik dan detail, agar bantuan yang didapat maksimal. “Kamu adalah praktisi PR. Kemarin perusahaan saya yang bergerak di bidang media monitoring menjalin kerja sama dengan perguruan tinggi negeri. Tolong buatkan siaran pers untuk berbagai media,” ucapnya mencontohkan perintah spesifik yang bisa diberikan praktisi PR kepada AI.
Risiko AI
Di balik potensi manfaat yang membuat sebagain besar orang khawatir akan tergantikan perannya, AI hadir bukan tanpa cela. Ia juga datang dengan berbagai risiko atau dampak negatif. Deepfake misalnya. Sebagai teknik sintesis citra berbasis AI, deepfake telah sering digunakan oleh para penipu. Belum lagi bicara potensi monopoli teknologi, yang menurut Ayu telah terjadi saat ini. “Saat ini kita berada dalam kondisi monopoli, dan tidak memiliki banyak pilihan,” paparnya.
Jika dijabarkan, potensi risiko yang dibawa AI bisa jadi tidak kalah banyak dengan manfaat yang bisa dinikmati. Selain yang telah disebutkan, Ayu juga mengingatkan tentang risiko keamanan data di ruang siber, hallucination effect atau kondisi ketika hasil kerja AI bisa salah, pelanggaran hak cipta, hingga plagiarisme. "Kita tidak tahu apakah output yang dihasilkan AI plagiat atau tidak. Oleh karena itu kita tetap harus memeriksanya," pungkasnya. (jar)