Plt Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemenkominfo Ismail menegaskan, peretasan Pusat Data Nasional (PDN) merupakan pelajaran berharga bagi pemerintah. Saat ini, katanya, yang menjadi fokus adalah mengembalikan kepercayaan publik.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Peretasan Pusat Data Nasional (PDN) tampaknya telah menghancurkan kepercayaan publik terhadap Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo). Pasalnya, hingga artikel ini diterbitkan, warganet masih menunjukkan sinisme di kolom komentar akun media sosial kementerian yang dikomandoi Budi Arie Setiadi itu, sekalipun unggahan yang dimuat bukan menyoal PDN.
Kemenkominfo pun tampak bergerak cepat mengatasi krisis kepercayaan dari masyarakat. Plt Direktur Jenderal Aplikasi Informatika (Aptika) Kemenkominfo Ismail mengatakan, saat ini pihaknya tengah memprioritaskan pemulihan kepercayaan publik.
Pria yang menggantikan posisi Semuel Abrijani Pangerapan itu juga menekankan, serangan siber terhadap PDN merupakan musibah yang akan dijadikan pelajaran berharga. “Kita sebagai bangsa yang besar dengan talenta mumpuni di bidang keamanan siber, seharusnya tidak boleh menyerah dengan serangan seperti ini,” ujarnya dalam Diskusi Publik bertajuk Insiden Keamanan Siber Pusat Data Nasional di Jakarta, Selasa (9/7/2024).
Mahalnya Reputasi
Kepercayaan dan reputasi bagaikan dua sisi mata uang yang tidak bisa dipisahkan. Pencapaian terhadap keduanya dalam proses yang sulit dan memakan waktu lama, dapat hancur sekejap mata jika krisis yang terjadi kadung merenggut kepercayaan publik.
Melansir dari Majalah PR INDONESIA Edisi 90/September 2022, founder EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto mengatakan, untuk dapat mengembalikan kepercayaan publik, organisasi harus menangani krisis dengan baik, jujur, tulus, dan konsisten. “Jangan membiarkan kasus berlarut-larut,” katanya.
Mengutip buku Organizational Behaviour karya Stephen P. Robbins dan Timothy Judge, perempuan yang karib disapa Ega itu menjelaskan, terdapat lima dimensi kunci dalam membangun kepercayaan. Di antaranya integritas, kompetensi, konsistensi, loyalitas, dan keterbukaan.
Sejalan dengan memperhatikan lima dimensi kunci tersebut, lanjut Ega menekankan, praktisi public relations (PR) perlu memahami waktu yang tepat untuk berbicara, berdiam diri, atau betul-betul “tiarap”. Hal tersebut ia tegaskan karena masih menemukan praktisi PR yang justru terlalu banyak bicara saat krisis. Entah itu karena tersulut emosi, ingin masalah cepat selesai, atau mendapat tekanan dari pimpinan. (jar)