Para praktisi lintas sektor punya penilaian tersendiri mengenai aspek ESG yang paling sulit dilakukan. Apa saja?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Semakin ke sini, implementasi konsep environment, society, dan governance (ESG) kian gencar diupayakan berbagai organisasi. Meski, dalam praktiknya tidak semua aspek dapat diterapkan dengan mudah. Hal tersebut diakui sejumlah praktisi yang hadir dalam diskusi “Crafting a Sustainable Future through Technology and ESG Integration with PR Excellence”, yang diselenggarakan LSPR Institute of Communication & Business bekerja sama dengan Uzone.id, Selasa (25/6/2024).
Direktur Sales dan Marketing PT Inchcape Indomobil Distribution Indonesia (Mercedes-Benz) Kariyanto Hardjosoemarto misalnya, menilai bahwa penerapan aspek lingkungan dalam ESG menjadi yang paling menantang sepanjang pengalamannya. Dalam hal ini ia mengaku, Mercedes-Benz sebagai perusahaan global kerap kesulitan memastikan seluruh pemasok (supplier) mengikuti aturan manajemen dalam menggunakan komponen ramah lingkungan. “Memang di atas kertas mereka berkomitmen ikut, tapi faktanya tidak,” ungkapnya.
Oleh karena itu, bagi Kariyanto, dua aspek lain dalam ESG yakni sosial dan tata kelola, relatif lebih mudah diterapkan karena dapat diukur dan dikontrol oleh publik. Ia juga menilai implementasi aspek tata kelola relatif lebih mudah karena berurusan dengan internal perusahaan.
Tata Kelola
Berkebalikan dengan Kariyanto, Sekretaris Umum Asosiasi IoT Indonesia Fita Maulani justru menilai tata kelola sebagai tantangan terbesar implementasi ESG di suatu perusahaan. Pendapat itu ia sampaikan karena melihat manajemen perusahaan cenderung hanya berpatokan kepada profit. “Kebanyakan hanya berbisnis saja,” tegasnya.
Senada dengan Fita, Senior Vice President Corporate Communications Indosat Ooredoo Hutchison Steve Saerang menjelaskan, dalam konteks perusahaan telekomunikasi, tata kelola menjadi tantangan karena rantai pasok mereka susah untuk distandarisasi. Terutama proses penggajian para pengecer (retailer) yang berbeda-beda. Hal tersebut, katanya, membutuhkan kebijakan strategis dari manajemen. “Contohnya ritel penjual pulsa itu tidak bisa disamakan yang di Jakarta, Sabang, dan Papua,” ujarnya.
Melengkapi pandangan Steve, menurut Fita, dalam konteks ini tugas yang paling sulit adalah mengedukasi dan mengubah pola pikir para pemilik perusahaan untuk mau menerapkan ESG dalam praktik bisnisnya. (dlw)