Sejalan dengan dampak positif yang ia berikan, artificial intelligence (AI) dinilai berpotensi menggantikan pekerjaan manusia. Benarkah begitu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) disoroti berbagai industri seiring dengan perkembangannya. Tak terkecuali oleh industri public relations (PR). Selain segudang manfaat yang ia tawarkan, sorotan juga difokuskan kepada potensi tergantikannya sejumlah profesi manusia oleh AI.
Mengenai hal tersebut, SVP Corporate Communications Indosat Ooredoo Steve Saerang berpendapat, sejauh perkembangannya, kekhawatiran soal tergantikannya peran manusia oleh AI belum terbukti. Sebab, saat ini AI masih bertindak sebagai co-pilot bagi manusia. "Hingga hari ini, AI hanya bisa menghasilkan konten dari data, belum bisa memproduksi data," ujarnya dalam talkshow Road to World Public Relations Forum (WPRF) bertema "Big Data Technology for The Future of Public Relations" di Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Steve menjelaskan, AI sebagai mesin yang mampu meniru proses kognitif manusia, tidak bisa berfungsi tanpa data input. Bahkan, kepintaran AI bergantung kepada seberapa banyak data yang bisa diberikan manusia. Meski demikian, ia menilai, evolusi AI di masa depan tidak menutup kemungkinan untuk bisa memproduksi data sendiri.
Meningkatkan Keterampilan
Mengingat adanya kemungkinan bagi AI untuk bisa memproduksi data sendiri, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Public Relations Indonesia (APPRI) Sari Soegondo dalam kesempatan yang sama dengan Steve mengatakan, penting bagi praktisi PR untuk terus mengembangkan keterampilannya. Hal ini ia sampaikan karena berdasarkan hasil survei yang sempat dilakukan, terungkap sebanyak 63 persen praktisi menyambut baik kehadiran AI dalam pekerjaannya.
Salah satu keterampilan yang perlu terus ditingkatkan, kata Sari, adalah cara berpikir tingkat tinggi (higher order thinking skills), agar bisa mengoperasikan AI untuk mendapatkan hasil baik dan output yang mendekati sempurna.
Selanjutnya, menurut perempuan yang juga merupakan co-founder dan Direktur Eksekutif ID COMM itu, praktisi PR dituntut untuk menyikapi, mengartikulasikan, dan mengambil tindakan atau kebijakan yang tepat terhadap hasil tersebut. “Kita bisa membuat makalah dengan bantuan kecerdasan buatan, tetapi kemampuan mempertahankan argumen dari makalah tersebut belum tentu bisa dilakukan oleh AI,” ujarnya memberi contoh kepada ratusan praktisi PR yang hadir.
Secara keseluruhan, kata Sari, selain memerlukan kecakapan mengenai data dan teknologi, praktisi PR juga membutuhkan kebijaksanaan, intuisi, dan hati nurani guna menghadapi AI. (Jar)