Praktisi public relations (PR) harus mampu memanfaatkan big data dan artificial intelligence (AI) untuk mencapai tujuan organisasi. Bagaimana caranya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Data adalah "minyak baru", kata CEO NoLimit Indonesia Aqsath Rasyid, mengutip para ahli menganalogikan pentingnya data di era digital. Ditambah kehadiran artificial intelligence (AI) istilah tersebut semakin menguatkan peran data yang juga turut membuka peluang baru, terutama bagi praktisi public relations (PR).
Alumnus Universitas Indonesia itu menjelaskan, kombinasi big data dan AI dapat menghasilkan solusi inovatif untuk menghadapi tantangan perubahan iklim hingga keamanan siber. Lebih luas lagi, kata Aqsath, negara yang mampu mengoptimalkan potensi keduanya memiliki keunggulan strategis dalam menghadapi kompleksitas tantangan global. "Negara dengan kemampuan itu memiliki keunggulan dalam membuat keputusan cerdas, merancang kebijakan efektif, dan merespons dinamika sosial, ekonomi, dan politik," ujarnya dalam acara Road to World Public Relations Forum (WPRF), Jakarta, Selasa (11/6/2024).
Ketua Umum PERHUMAS Boy Kelana Soebroto sepakat dengan Aqsath tentang pentingnya mengoptimalkan big data dan AI dalam dunia PR. Menurutnya, kombinasi keduanya dapat membantu praktisi PR merancang strategi yang tepat guna memperkuat reputasi organisasi. “Praktisi PR dapat secara otomatis mengidentifikasi tren, memprediksi hasil kampanye, mengelola krisis komunikasi dengan lebih efektif, dan menganalisis data jumlah besar dalam waktu singkat,” ujarnya.
Lebih lanjut pria yang juga menjabat Head of Corporate Communications PT Astra International Tbk itu menjelaskan, optimalisasi pesan yang dilakukan dengan big data dan AI akan memastikan konten yang dihasilkan PR benar-benar sesuai, sehingga dapat meningkatkan keterlibatan, dan membangun kepercayaan maupun loyalitas jangka panjang. “Pesan tidak hanya tepat waktu, tetapi juga relevan, dan menarik bagi audiens yang ditargetkan,” imbuhnya.
Regulasi
Terlepas dari segala potensinya, tambah Boy, praktisi PR perlu awas terhadap tantangan etika dan privasi dalam penggunaan big data dan AI, guna mengantisipasi kerugian dan pelanggaran terhadap privasi orang lain. Selaras, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika RI (Kemenkominfo) Usman Kansong mengatakan, tata kelola dalam implementasi AI untuk komunikasi publik yang mencakup akuntabilitas, regulasi, kepatuhan, dan etika, sangat perlu diperhatikan. “Untuk meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat dan memastikan penggunaan teknologi yang bertanggung jawab dan adil,” katanya.
Usman pun menjelaskan, saat ini tata kelola AI di Indonesia sudah menggunakan pendekatan horizontal yang melibatkan masyarakat dalam menyusun etika dan tata kelola mandiri, seperti lewat surat edaran yang mengimbau organisasi menyusun etika penggunaan AI, dan pendekatan vertikal dengan melibatkan kebijakan lebih formal seperti Undang-Undang ITE dan PDP yang sebagian mengatur AI.
Selain itu, Usman menambahkan, Indonesia juga telah berpartisipasi dalam penyusunan etika AI global, lewat usulan pendekatan 3P yang mencakup policy, platform, dan people, guna menghadirkan kebijakan yang memperhatikan keamanan, keadilan, dan inklusivitas.
Meski demikian, mantan Direktur Pemberitaan Harian Media Indonesia itu menilai, upaya yang telah dilakukan pemerintah sejauh ini belum cukup. "Kita memerlukan undang-undang yang lebih komprehensif seperti regulasi yang diterapkan di Uni Eropa," ujarnya.
Di samping itu, kata Usman, platform komunikasi inklusif bagi pemangku kepentingan multilateral juga diperlukan untuk memitigasi risiko dan perkembangan AI. Selaras, tindakan pemerintah juga harus mengarah pada pendekatan yang lebih inklusif dan human-centered. (jar)