Gaya Komunikasi Gen Z yang singkat dan padat seringkali memicu kesalahpahaman generasi lain. Dalam hal ini, Gen Z dinilai perlu memahami pentingnya berkomunikasi melalui bercerita (storytelling).
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Salah satu karakteristik generasi kelahiran tahun 1997 hingga 2021 (Gen Z) adalah gaya komunikasinya yang cenderung singkat dan padat. Sebagian orang memandang santai kecenderungan tersebut, sebagai dampak dari dominasi media sosial dan aplikasi pesan singkat di kehidupan mereka. Namun, sebagian lainnya menilai gaya berkomunikasi tersebut dapat memicu ketersingungan, utamanya bagi generasi lain seperti milenial, Gen X dan baby boomer.
Pandangan tersebut disampaikan oleh Erwin Parengkuan, CEO sekaligus founder TALKINC, sebuah institusi pendidikan yang berfokus pada pengembangan keahlian berkomunikasi. Ia menjelaskan, terlepas dari efektivitasnya, komunikasi yang cenderung singkat dan padat khas Gen Z dapat mengganggu kerja sama di lingkungan profesional. “Berdasarkan temuan TALKINC, banyak perusahaan mengeluhkan gaya bicara tersebut karena menghambat proses kerja sama lintas generasi,” ujarnya dalam kegiatan Seminar: Mastering the Present, Shaping the Future of Indonesia di Jakarta, Rabu (15/5/2024).
Guna mengatasi persoalan tersebut, kata Erwin, Gen Z perlu lebih fleksibel untuk menyesuaikan gaya komunikasinya dengan lawan bicara. Dalam hal ini ia menegaskan, kunci efektivitas komunikasi bukan sebatas singkat dan padat, tetapi juga koneksi emosional dan kemampuan individu dalam menarasikan ide dengan jelas.
“Storytelling”
Pria yang berpengalaman di dunia penyiaran radio itu melanjutkan, komunikasi yang lebih mendalam sangat penting untuk diupayakan. Menurutnya, komunikasi lewat pesan singkat tidak akan pernah menggantikan interaksi tatap muka yang melibatkan koneksi emosional. Untuk itu, jelas Erwin, Gen Z perlu mengembangkan kemampuan bercerita (storytelling) guna memperdalam interaksi antar generasi.
Senada dengan Erwin, Wahyu Wiwoho, Public Speaking Facilitator TALKINC, selaku narasumber dalam kegiatan tersebut meyakini, kemampuan storytelling akan memungkinkan Gen Z memiliki koneksi yang lebih baik di lingkungan profesional. "Storytelling memungkinkan kita menyampaikan ide dan gagasan secara persuasif, sehingga orang lain lebih mudah mendengarkan dan meyakini pesan yang disampaikan," ungkapnya.
Sebagai contoh, terang Wahyu, alih-alih hanya menampilkan data mentah dalam presentasi evaluasi kerja, kemampuan storytelling memungkinkan Gen Z untuk menceritakan tantangan yang dihadapi dalam pekerjaannya.
Pria yang pernah bekerja sebagai Pembawa Berita dan Produser di Metro TV itu menilai, secara kualitas Gen Z merupakan generasi yang dapat diandalkan. Namun, menurutnya, mereka tetap membutuhkan bimbingan generasi terdahulu dalam lingkup profesional. “Gen Z sangat bisa diandalkan di kantor dan menjadi penyeimbang dalam tim. Untuk itu, kemampuan storytelling mereka perlu diasah," pungkasnya. (jar)