Disamping keterampilan keras (hard skills) dan keterampilan lunak (soft skills), praktisi public relations (PR) juga wajib memiliki kemampuan ini. Apa itu?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Praktisi public relations (PR) kiwari dituntut untuk dapat menguasai sejumlah keahlian (skillset), termasuk kombinasi keterampilan keras (hard skill) dan keterampilan lunak (soft skill) dalam melaksanakan tugasnya. Head Corporate Communications Great Giant Food (GGF) Indra Ardiyanto mengatakan, hal tersebut diperlukan sebagai respons terhadap perkembangan industri yang semakin kompleks dan dinamis.
Menurut Indra, salah satu hal yang paling dibutuhkan industri saat ini dari praktisi PR adalah kemampuan komunikasi yang kuat, baik dalam bentuk tertulis maupun lisan. “Ini termasuk kemampuan menulis rilis pers, materi promosi, dan konten digital yang menarik serta efektif,” ujar Indra melalui keterangan tertulis yang PR INDONESIA terima, Kamis (4/4/2024).
Selain itu, menurut peraih gelar Doktor Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran ini, keterampilan menganalisis data juga penting dimiliki untuk mengukur efektivitas kampanye PR, menganalisis tren media, hingga memahami persepsi publik terhadap merek atau organisasi. Sejalan dengan itu, katanya, praktisi PR juga perlu menguasai berbagai jenis dan bentuk teknologi yang berkembang.
Melengkapi hard skills di atas, Indra mengatakan, praktisi PR juga mesti menguasai sejumlah soft skills, utamanya kemampuan beradaptasi terhadap perubahan dan tantangan yang sangat dinamis. Selain itu, ia juga menilai penting kemampuan kerja sama tim, membangun hubungan interpersonal yang kuat, dan mempertahankan kepercayaan.
Pentingnya Etika
Di samping berbagai keahlian yang disampaikan Indra, menurut dosen sekaligus Sekretaris Program Studi Humas dan Informasi Universitas Diponegoro Agus Naryoso, etika adalah keahlian yang paling penting untuk dikuasai setiap praktisi PR. Ia menilai, hal ini merupakan fondasi bagi berbagai keahlian lainnya. “Percuma bisa mengedit dan menghasilkan karya bagus, tetapi dia tidak melakukannya dengan baik,” terangnya kepada PR INDONESIA, Sabtu (30/4/2024).
Agus pun menjelaskan, tanpa dibekali etika yang baik, praktik PR bisa saja melanggar norma dan nilai yang ada. Terlebih di era digital seperti sekarang, peluang menjadi viral terbuka luas bagi mereka yang mengabaikan etika. “Kadang-kadang kalau orang tidak dibekali dengan etika, dia mungkin melihat konten asal viral, mengejar viral,” imbuh Agus.
Dalam hal ini, alumnus Universitas Diponegoro ini menyebut, praktisi PR sejatinya dapat melakukan tugas secara etis, dengan mengacu kepada kode etik profesi yang telah dirumuskan oleh berbagai organisasi profesi. “Mau pakai asosiasi profesi apapun dipersilahkan. Namun, yang dinamakan PR, analisis pekerjaanya harus menggunakan standar kode ketik yang benar,” pungkasnya. (dlw)