Krisis yang dihadapi Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) belum reda sepenuhnya. Namun, perkara baru muncul karena keputusan menggunakan jasa influencer. Seperti apa jelasnya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Sorotan publik terhadap Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) masih berlanjut. Bukan karena Menteri Keuangan Sri Mulyani ikut turun tangan memberikan klarifikasi atas tiga kasus viral bebarapa waktu lalu. Tetapi karena keputusan DJBC menggandeng influencer untuk menghadapi krisis yang muncul karena rentetan kasus tersebut.
Baru-baru ini, seorang influencer bernama Bima Yudho Saputro membuat pernyataan yang dapat mengikis kepercayaan publik terhadap direktorat di bawah Kementerian Keuangan tersebut. Melalui akun TikTok @awbimax, Bima mengungkapkan tawaran kerja sama dari agensi yang mewakili DJBC. “Bukan seperti buzzer, kampanye ini lebih ke POV seorang KOL tentang Bea Cukai,” bunyi pesan yang dilampirkan Bima dalam unggahannya, Rabu (1/5/2024).
Meski pesan tersebut menegaskan bahwa kerja sama yang ditawarkan bukan dalam konteks menjadi buzzer, tetapi sebagian besar warganet berpendapat kalau DJBC telah salah langkah. "Bukannya minta maaf, malah mencari influencer TikTok untuk menjadi buzzer," tulis akun @emgininamaku di platform X.
Dalam persoalan baru ini, publik menilai DJBC telah salah menentukan strategi dan keliru memilih influencer. Sebagaimana dituliskan akun @peonwi, Bima dikenal sebagai influencer yang kerap mengkritik pemerintah. “Sangat lucu mencari influencer untuk memperbaiki citra. Makin lucu karena salah sasaran. Mereka gatau apa kalau Bima kontra dengan pemerintah?" tulisnya.
Harus Penuh Pertimbangan
Satu hal yang bisa dipelajari dari kasus Bea Cukai adalah mempertimbangkan matang-matang penggunaan influencer saat terjadi krisis. Untuk itu, sebelum menggandeng influencer, ada empat hal yang perlu diperhatikan. Dikutip dari LinkedIn, berikut ulasannya.
1. Pilih Influencer yang Tepat
Tidak semua influencer cocok untuk manajemen krisis. Pilih influencer yang memiliki hubungan kuat dengan nilai maupun audiens organisasi. Hindari pemilihan influencer yang kontroversial atau terlalu promosional, dan bangun hubungan yang transparan dengan mereka.
2. Buat Strategi dan Pesan Kunci
Siapkan strategi dan pesan yang jelas sebelum melibatkan influencer dalam komunikasi krisis, agar mereka dapat menyampaikan informasi secara efektif. Lakukan pula identifikasi masalah, solusi, dan langkah-langkah pencegahan. Tekankan empati, permintaan maaf, maupun pertanggungjawaban dengan konsisten dan positif.
3. Memantau dan Mengukur Dampaknya
Setelah memulai kampanye bersama influencer, pantau dampaknya terhadap reputasi merek dan manajemen krisis organisasi. Di sini, public relations (PR) dapat melakukan analisis media sosial, sentimen, keterlibatan, jangkauan, hingga konversi untuk mengevaluasi kinerja kampanye. Kumpulkan juga umpan balik dari influencer dan masyarakat untuk meningkatkan strategi ke depannya.
4. Belajar dari Kesalahan
Jangan lupa lakukan evaluasi setelah periode kampanye berakhir, termasuk menanyakan pendapat influencer. Dengan itu, organisasi dapat memahami kebutuhan audiens dan mengidentifikasi peluang perbaikan.
Dengan memperhatikan empat langkah tersebut, PR dapat memastikan peran influencer dalam pengelolaan krisis dan upaya memulihkan kepercayaan publik. Semoga informasi ini bermanfaat, ya! (jar)