Menurut Founding Director EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto, employee engagement lebih dari sekadar melibatkan karyawan dalam aktivitas organisasi. Seperti apa?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO –Employee engagement atau keterlibatan karyawan merupakan aspek penting bagi kesuksesan sebuah organisasi. Hanya saja, definisi pasti mengenai hal tersebut perlu dirumuskan kembali. Sebab, menurut Founding Director EGA Briefings Elizabeth Goenawan Ananto dalam diskusi EGA#30 bertajuk “Employee Engagement: A Jargon or A Commitment?”, Kamis (25/4/2024), sebagian pihak merasa keterlibatan karyawan adalah jargon, sementara yang lainnya menilai sebagai sekadar penamaan.
Perempuan yang karib disapa Ega itu menjelaskan, silang pendapat tersebut hadir salah satunya karena banyak organisasi yang tidak memahami employee engagement dengan baik. Ia berpendapat, hal ini dapat terjadi karena tafsir atas terjemahan istilah tersebut di dalam bahasa Indonesia. “Terjemahan bahasa Indonesianya kan keterlibatan karyawan. Padahal, keterlibatan itu involvement,” ujarnya singkat.
Adapun menurut peraih gelar Master Public Relations (PR) dari Stirling University itu, employee engagement bukan hanya soal melibatkan karyawan dalam aktivitas organisasi. Lebih dari itu, baginya istilah tersebut merujuk kepada upaya menyentuh aspek emosional untuk mendorong kinerja. “Agar secara moral mereka mau melakukan pekerjaan di luar yang telah ditugaskan,” jelasnya.
Oleh karena itu, kata Ega, pencapaian employee engagement pada praktiknya tidak dapat didasarkan kepada penilaian organisasi belaka. Sebab, perdebatan mengenai employee engagement sebagai sebuah komitmen atau hanya sekadar jargon dapat muncul dari sana. “Manajemen sering klaim kalau employee engagement mereka bagus. Padahal belum ditanya kepada karyawan,” paparnya.
Ega menegaskan, tolok ukur keberhasilan employee engagement adalah perubahan sikap dan perilaku karyawan, bukan sekadar intention. Untuk mencapainya, katanya, beragam pendekatan harus ditempuh. Mulai dari memahami kebutuhan karyawan, hingga memberikan perhatian sesuai gender, usia, bahkan jabatan kerja. “Terapkan juga komunikasi saling percaya yang bersifat dua arah, agar karyawan memiliki kesempatan untuk bersuara,” imbuh Ega.
HR atau PR?
Mengingat kompleksitas employee engagement tidak bisa disepelekan, pertanyaan berikutnya adalah siapa yang seharusnya bertanggung jawab di balik fungsi tersebut. Menurut Ega, fungsi employee enagement secara struktur dapat diambil oleh human resources (HR). Namun, dalam praktiknya, ia menilai peran komunikasi yang personal dan humanis dari PR sangat diperlukan, karena HR tidak dapat menyentuh karyawan sampai kepada aspek moral.
Sekaligus menjawab salah satu pertanyaan dari peserta diskusi, Ega menekankan bahwa tanggung jawab meningkatkan employee engagement secara keseluruhan berada di tangan manajemen organisasi dan karyawan itu sendiri. “It takes two to tango. Posisi keduanya harus jelas dan fair,” pungkasnya. (dlw)