Menurut Tiffany Diahnisa, penerima PR INDONESIA Fellowship tahun 2020–2021 dan 2022–2023, praktisi public relations (PR) harus peka terhadap isu-isu yang muncul di media sosial. Sebab, jika tidak ditangani dengan baik, isu tersebut berpotensi menjadi krisis.
Oleh: Tiffany Diahnisa, PR INDONESIA Fellowship 2020 – 2021 dan 2022 – 2023.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Di tengah masifnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi, praktisi public relations (PR) harus peka terhadap setiap “percikan api”, sekecil apa pun itu. “Percikan api” adalah awal dari isu yang bisa berkembang menjadi krisis jika tidak ditangani dengan tepat. Media sosial yang mudah diakses, dapat menjadi sarana penyebaran krisis.
Apalagi saat ini siapa saja bisa membuat berita. Informasi, baik yang benar maupun hoaks, dapat dengan mudah menyebar. Untuk itu, PR harus mampu membedakan antara informasi yang benar dengan hoaks, serta mengenali isu yang perlu dikelola. Praktisi PR juga harus dapat melihat situasi dan kondisi, menganalisis potensi isu, serta menentukan strategi dan taktik yang tepat dalam mengelola informasi di media sosial.
Kebocoran informasi perusahaan dari internal, konten internal yang tidak tepat, dan pernyataan kontroversial dari manajemen perusahaan adalah beberapa faktor yang dapat menimbulkan krisis di media sosial.
Kebocoran informasi perusahaan dari internal dapat menjadi pemicu krisis. Perusahaan terbuka, khususnya, memiliki pangkalan data (database) besar yang mencakup data rahasia dan data yang harus dibuka ke publik sebagai bentuk komitmen transparansi dan keterbukaan informasi.