Pemimpin dan praktisi PR perlu beradaptasi dengan AI agar tetap unggul di era digital.
BALI, PRINDONESIA.CO - Di tengah kekhawatiran akan dominasi kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI), Director Corporate Affairs Nestlé Indonesia Sufintri Rahayu menekankan pentingnya adaptasi dan pengembangan diri bagi pemimpin dan praktisi public relations (PR) di era ini.
Fifin, begitu ia karib disapa, yang hari itu didapuk menjadi pembicara Conference The 9th PR INDONESIA Awards (PRIA) di Bali, Selasa (5/3/2024), lantas membagikan lima poin penting bagi pemimpin dalam menghadapi dinamika dunia AI.
Lima poin tersebut meliputi pemimpin harus meningkatkan kemampuan dan pengembangan kapasitas profesional untuk menjadi ahli di bidangnya, menghargai keberagaman dan inklusi dalam membangun tim yang beragam dengan keahlian yang berbeda-beda, serta menakar efektivitas dan memikirkan ulang model kepemimpinan agar sesuai dengan era AI. “Pemimpin harus mencari seseorang yang dapat melengkapi kekurangan dirinya,” kata alumnus Hardvard Business School tersebut.
Selain itu, Sarjana Ilmu Komunikasi dari Universitas Padjadjaran itu juga menekankan pentingnya pemimpin memiliki rasa penasaran dan keinginan untuk bereksperimen terhadap ide-ide baru. Di samping tetap terinformasi dan terbuka mencoba cara-cara baru untuk beradaptasi dengan perubahan.
Menjadi “Teman”
Lalu, bagaimana dengan PR? Menurut Fifin, AI bukan ancaman, melainkan peluang bagi para praktisi PR di era digital. “AI bukan barang mati, mereka beradaptasi seperti manusia,” katanya. Untuk itu, ia mendorong praktisi PR untuk berani menggunakan AI dalam pekerjaan dan mempersiapkan diri agar tidak tergilas oleh perkembangannya.
Menurut perempuan yang pernah menjabat sebagai VP Corporate Affairs Bukalapak ini, kunci utama agar PR tidak tergantikan oleh AI adalah dengan meningkatkan kreativitas dalam melaksanakan tugas. “Kita harus kreatif, tidak boleh bekerja dengan cara yang itu-itu saja,” katanya, tegas.
Selain itu, Fifin juga menekankan pentingnya PR mengasah rasa kepedulian (compassionate) dan menumbuhkan cinta terhadap pekerjaan. Sebab, kedua hal ini tidak akan bisa digantikan oleh AI. Ia yakin bahwa dengan menjadi PR yang kreatif, peduli, dan mencintai pekerjaannya, praktisi PR tidak akan tergantikan oleh AI, bahkan dengan AI tercanggih sekalipun.
Perempuan yang sebelumnya merupakan Direktur PR Traveloka ini ini juga mengajak seluruh praktisi PR di era AI agar memiliki pemikiran kritis, kemampuan menganalisis, relevan dan efektif, serta human intuition.
Pernyataan Fifin mengundang pertanyaan Nia, peserta dari Direktorat Jenderal Pajak (DJP) soal siapa yang akan menjadi “penguasa” di masa depan: AI atau manusia. Ia menjawab dengan memberikan analogi bahwa AI saat ini seperti televisi atau kulkas pada awal kemunculannya. “Sekarang, bayangkan jika kita dikalahkan oleh AI, sama artinya kita dikalahkan oleh kulkas,” katanya.
Oleh karena itu, Fifin mengajak para PR agar tidak gentar menghadapi AI. Justru, katanya, PR harus mendorong pengembangan AI agar menjadi “teman” yang membantu dan melengkapi pekerjaan manusia. (lth)