Krisis adalah situasi yang harus dihindari. Namun, jika krisis tak terelakkan, penting bagi humas untuk mengetahui cara menanganinya dengan tepat.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Peribahasa “setetes nila merusak susu sebelanga” tepat menggambarkan cara krisis mencoreng reputasi perusahaan yang telah dibangun bertahun-tahun. Dalam sekejap, citra positif yang diraih dengan susah payah bisa hancur lebur.
Bagi praktisi public relations (PR), krisis adalah situasi yang harus dihindari. Namun, jika krisis tak terelakkan, penting untuk mengetahui cara menanganinya dengan tepat. Di hadapan peserta GPR Conference bertajuk “Layakkah Humas Berada di Eselon 1?” di Jakarta, Kamis (22/2/2024), Deputi Komunikasi BPJS Ketenagakerjaan Oni Marbun membagikan pengalamannya ketika menangani krisis di lembaganya.
Ketika itu, tepatnya 12 Maret 2023, BPJS Ketenagakerjaan diterpa isu tak sedap terkait Hacker Bjorka yang mengklaim memiliki 19 juta data pengguna BPJS Ketenagakerjaan. Menurut perempuan kelahiran 1974 ini, ada lima langkah yang dilakukan dalam menangani krisis.
Langkah pertama, tetap tenang dan jangan panik. Sikap panik dapat terlihat oleh wartawan dan memperburuk situasi. “Penting untuk kita tetap tenang dan menunjukkan profesionalisme dalam menghadapi krisis,” kata alumnus Universitas Indonesia ini.
Langkah kedua, membentuk tim penanganan krisis. Terdiri dari divisi humas dan stakeholder internal terkait untuk bekerja sama menangani krisis. Tim ini akan bertanggung jawab untuk merumuskan strategi, menyusun narasi, dan mengambil langkah-langkah yang diperlukan untuk mengatasi krisis.
Langkah ketiga, menyusun strategi penanganan krisis. Langkah ini diawali dengan mengidentifikasi akar permasalahan, diikuti dengan menyusun strategi yang tepat untuk mengatasinya. Strategi ini dapat mencakup upaya seperti menghubungi pihak terkait seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) apabila krisis melibatkan kejahatan internet, melakukan investigasi internal, dan menyiapkan langkah-langkah untuk mencegah krisis serupa terulang kembali.
Langkah keempat, membuat pesan dan narasi yang jelas serta transparan. Menurut Oni, pada tahap ini penting bagi PR mengomunikasikan informasi yang akurat dan transparan kepada publik tentang krisis yang terjadi. Selain itu, PR juga harus menjelaskan langkah-langkah yang telah dan akan diambil untuk mengatasi krisis. “Di masa ini, hindari sikap defensif dan fokuslah pada solusi,” katanya seraya berpesan.
Langkah kelima, melakukan evaluasi dan pemulihan reputasi. Setelah krisis teratasi, lakukan evaluasi untuk mengetahui hal yang dapat dilakukan dengan lebih baik di masa depan. Sebaiknya, kata Oni, fokus pada pemulihan kredibilitas dan reputasi perusahaan dengan membangun kembali kepercayaan publik.
Pemaparan Oni menarik perhatian para peserta GPR Conference, salah satunya Aulia dari agensi PR Sekar Visual & Communications. Aulia menanyakan tentang cara menyusun narasi yang tepat dalam kasus Bjorka dengan melibatkan Kemenkominfo.
Oni menekankan bahwa penyusunan narasi dapat berbeda tergantung jenis krisis. Dalam kasus Bjorka, BPJS Ketenagakerjaan mengklarifikasi bahwa data yang bocor berasal dari pihak ketiga dan menjelaskan langkah-langkah yang telah diambil untuk meningkatkan keamanan data pengguna. (aza)