Slamet Pribadi - Kepala Humas Badan Narkotika Nasional (BNN)
Tapi, sebagai perwira polisi, Slamet selalu siap dengan beragam penugasan dari negara. Termasuk ketika akhir Januari 2015 ia dilantik menjadi Kepala Humas BNN menggantikan Kombes Sumirat Dwiyatno. Penugasan ini tak lepas dari latar belakang Slamet, karena menjadi humas BNN tak cukup kemampuan komunikasi, lebih dari itu dituntut menguasai semua hal terkait narkotika mulai dari sisi hukum acara, hukum pidana, kebijakan strategis pencegahan, pemberantasan, hingga rehabilitasi.
“Makanya, begitu ditugaskan saya langsung belajar cepat, sehingga sekarang, sudah sangat mendalami dan menguasai ilmunya. Itu kebiasaan saya kalau bekerja tidak tanggung-tanggung. Kalau sudah masuk, total dan tanggung jawab,” kata Slamet saat ditemui PR INDONESIA di Jakarta, Selasa (9/8/2016).
Sebagai humas lembaga yang kerap menjadi perhatian publik, Slamet juga dituntut untuk mampu memposisikan dirinya secara strategis di bawah “leher” Kepala BNN. Sebab, humas harus selalu berkomunikasi dan satu line dengan pemimpin tertinggi lembaga. “Saya selalu komunikasi dengan Kepala BNN. Pak, ada isu ini, boleh tidak ngomong ini? Key message-nya saya munculkan dulu, kalau ada tambahan atau perlu dikurangi beliau akan menyampaikan,” kata pria yang memiliki hobi bersepeda off-road ini.
Ketika ditanya tentang humas pemerintah secara umum, Slamet mengaku prihatin. Sebab, banyak lembaga atau kementerian yang pejabatnya terlalu narsis sehingga mengomentari semua hal. Padahal seharusnya para pejabat cukup bicara hal strategis. Hal teknis cukup diserahkan kepada humas agar dikelola sesuai prinsip kehumasan dan komunikasi. Namun, ia juga mengajak humas pemerintah untuk introspeksi, apakah selama ini sudah menjalin komunikasi intensif dengan pemimpinnya.
Hampir dua tahun memimpin kehumasan BNN, Slamet merasakan banyak tantangan yang ia hadapi. Jika sebelumnya ketika menjadi penyidik, ia bertanggung jawab soal penyidikan dan penyelidikan sampai tuntas, tapi begitu di humas, ia bertanggungjawab atas persepsi publik terhadap BNN. “Saya merasa bertanggung jawab terhadap tugas saya. Sehingga memberikan motivasi kepada saya. Meski penugasan bukan atas pilihan saya tapi kalau sudah ditujnjuk saya harus bertanggung jawab,” ujarnya.
Ubah Persepsi
Tantangan terbesar yang pernah ia lalui di humas BNN adalah ketika menghadapi pelaksanaan hukuman mati kedua yang mendapat penolakan dari para aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Ia pun memeras otak untuk mengubah persepsi publik soal hukuman mati. Strategi yang ia kedepankan adalah mempublikasikan korban-korban narkoba.
“Kita balik yang tadinya orang bicara hukum terus, persepsi publik saya dorong menjadi berbicara soal pencegahan dan korban-korban narkotika. Kami angkat hasil penelitian Puslitkes UI dengan BNN, bahwa korban yang mati setiap hari antara 30 - 40 orang, pengguna narkotika nasional antara 4 juta sampai dengan 5 juta jiwa, kerugian mencapai Rp 63,1 triliun. Itu semua saya blast ke seluruh dunia melalui infografis, rilis, dan sebagainya,” katanya.
Dengan strategi tersebut, akhirnya perhatian media dan publik pun bergeser. Tujuh dari sepuluh wartawan yang sebelumnya menanyakan tentang hukuman mati, berbalik menjadi fokus kepada korbannya. Bahkan soal korban pun menjadi perhatian semua orang, termasuk Presiden Jokowi. “Saya tidak menduga akan menjadi viral seperti itu. Artinya agenda setting kami berhasil,” pungkas pria yang dikenal humoris ini. nif