Pernyataan praktisi public relations (PR) senior, Maria Wongsonegoro, di atas podium sesaat sebelum pengumuman kompetisi PR yang diadakan Serikat Perusahaan Pers (SPS), The 5th Indonesia Public Relations Awards & Summit (IPRAS) di Semarang, Rabu (31/8/2016), menarik untuk disimak.
Setelah melakukan penilaian terhadap program-program PR yang dilombakan pada ajang yang merupakan wahana apresiasi bagi para praktisi PR tersebut, perempuan yang didapuk sebagai ketua dewan juri ini merangkum setidaknya ada empat catatan yang perlu menjadi perhatian para pelaku PR.
Pertama, pemahaman PR yang masih kurang mendalam dan menyeluruh. Agar mudah untuk dipahami, Presiden PT Inti Pratama Manggara (IPM) itu mengibaratkan PR sebagai sungai, ada hulu dan hilir. Ia lantas menjabarkan, di hulu korporasi ada institutional branding, visi misi, values, stakeholders mapping, stakeholders preception survey, communications strategy, action plan, issues management, crisis management, dan panduan komunikasi. Sementara di bagian hilir, ada program kegiatan dan kampanye.
Nah, kebanyakan dari entri yang masuk, Maria melanjutkan, lebih menitikberatkan pada program kampanye di hilir. Padahal program yang ada di hilir itu perlu keterkaitan dengan hulu, “Dari situ, kami bisa melihat bahwa pemahaman tentang praktik PR para peserta masih sangat kurang. Kondisi ini tentu sangat disayangkan,” katanya.
Kedua, kebanyakan program merupakan project base, bukan strategic base. “Kalau project base itu, setelah programnya selesai, ya, sudah. Makanya, jadi kurang atau tidak sustainable. Tapi kalau strategic base, programnya long-term, sustainable,” kata perempuan yang dikenal gemar berkebun itu.
Ketiga, masih ada kerancuan antara marketing dengan PR. Seperti ketika ia mengkritisi salah satu program Pertamina bertema “Peluncuran SPBU Pasti Prima“ saat proses penjurian di Gedung Dewan Pers, Jakarta, Kamis (18/8/2016). “Umumnya, program yang disampaikan merupakan marketing program yang didukung oleh PR, sehingga kami menilai unsur coporate PR-nya masih kurang,” ujar Maria.
Terakhir, kurangnya pemahaman tentang issues management. Ia tak memungkiri apabila program-program tersebut berdiri sendiri tampak bagus dan kreatif. Tapi saat lembaga/institusi diliputi isu berat, bahkan dihadapkan dengan krisis, bagaimana mereka harus bertindak, hal itulah yang tidak tampak. “Mereka masih suka kebingungan, padahal semua itu sebenarnya ada dalam ilmu PR, tapi pemahaman mereka masih kurang,” tambah Maria.
Meski demikian, ia mengapresiasi peserta yang berpartisipasi pada agenda rutin SPS yang sudah berlangsung kali kelima itu. Baik dari kalangan PR korporasi swasta nasional, multinasional. BUMN/BUMD, maupun kementerian/lembaga. “Itu sebabnya, kami mengharapkan program-program semacam ini terus diadakan karena diharapkan dapat meningkatkan pemahaman praktisi PR,” imbuh Maria.
Berbagi Masukan
Sementara dewan juri yang lain, Silih Agung Wasesa menilai, hal tersebut dilatarbelakangi oleh masih adanya tantangan dari PR itu sendiri. “PR belum banyak mendapat tantangan atau tuntutan secara strategis dari perusahaan masing-masing. Sehingga, tidak ada upaya untuk mendobrak pemikiran mereka lebih maju,” katanya. “Coba kalau posisi dia sudah srategis, pasti dia dituntut banyak oleh manajemen. Dampaknya, mau tidak mau, mereka pasti akan terpacu,” tambah founder AsiaPR.
Silih melanjutkan, kompetisi yang bermanfaat untuk mengukur antusiasme peserta terhadap apresiasi serupa, juga bertujuan untuk mengetahui kedalaman pengetahuan peserta dalam memahami isu-isu korporasi. Serta, mengetahui ide kreatif praktisi PR ketika menghadapi persoalan yang dihadapi korporasinya.
Ia melihat, dari segi antusiasme sudah baik, tapi belum kelihatan dari sisi ide baru. Umumnya, program yang diterima dewan juri merupakan program yang sudah pernah dilakukan oleh perusahaan bersangkutan, atau pernah dilakukan oleh perusahaan yang lain. “Ada, sih, satu sampai dua ide brilian, tapi lainnya masih standar,” katanya tegas.
Lain lagi menurut Janette Maria Pinariya. Dewan juri dari London School of Public Relations (LSPR) itu justru menilai tema yang dibawakan peserta menarik dan beragam dari program eksternal hingga CSR. Bahkan, ada juga peserta yang menyampaikan program kampanye yang menyasar internal karyawan. Contohnya, penguatan corporate culture, atau kampanye milik Kementerian ESDM ”Hemat Energi Potong 10%”.
Selain itu, ia juga melihat upaya peserta dalam melakukan transformasi komunikasi. “Peran PR tidak lagi teknis, tapi sudah mengarah ke strategis. Mereka juga sudah melakukan aktivitas yang relevan, sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman,” katanya.
Terbukti beberapa karya PR dari berbagai lintas institusi/korporasi mampu memenangkan hati dewan juri. Sebut saja, Pelindo III (Surabaya North Quay), Astra International (Guruku Inspirasiku), PLN Bright (Sosialisasi Layanan Pelanggan melalui Digital Advertise dan Prekuel Video Viral), Kementerian Keuangan (#SadarAPBN).
Di sisi lain, imbuh Janette, dewan juri mencari program PR yang sesuai visi misi/hulu perusahaan. “Kami ingin melihat dampak dari implementasi program yang diturunkan dari hulu ini apakah benar bisa dijalankan dengan tepat atau tidak. Sehingga, programnya jelas, mengalir dari hulu ke hilir,” ujarnya seraya menambahkan dewan juri menemukan ada beberapa program yang masih missing link dengan hulu.
Sementara Wianda Pusponegoro, VP Corporate Communication PT Pertamina (Persero) yang saat penjurian mempresentasikan tiga program, menilai positif acara tersebut. “Seperti sekolah lagi. Saya mendapat banyak masukan dari para praktisi PR senior yang mereka sudah paham betul pekerjaan kami sebagai PR,” katanya. “Positifnya yang lain, dari presentasi yang dilakukan peserta, kami sesama PR jadi bisa saling berbagi input,” ujarnya.
Selain Maria, Silih dan Janette, dewan juri lainnya yang terlibat pada kompetisi PR tahunan ini antara lain Tenaga Ahli Kedeputian IV Kantor Staf Presiden Ariani Djalal dan Ketua Dewan Pimpinan SPS Bambang Halilintar. (Ratna Kartika)