Praktisi public affairs (PA) harus mampu membaca dan merespons berbagai dinamika dengan cepat dan tepat agar perusahaan tetap dapat mencapai targetnya di tengah dinamika Pemilu 2024.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 semakin dekat. Tiap perusahaan tengah menyusun strategi untuk menyambut pesta demokrasi tersebut. Tak terkecuali para praktisi public affairs (PA) di setiap organisasi. Hal ini dikarenakan pasti akan terjadi perubahan kepemimpinan dan peraturan di tahun politik, namun PA harus tetap memastikan rencana dan target korporasi tetap tercapai.
Berangkat dari latar belakang inilah, Public Affairs Forum Indonesia (PAFI) menginisiasi diskusi bertajuk "Perspektif Public Affairs: Peluang dan Tantangan 2024" yang berlangsung secara daring, Selasa (19/12/2023).
Dalam diskusi tersebut, Ketua PAFI Agung Laksamana saat membuka diskusi sore hari itu, menggarisbawahi tujuh poin penting bagi praktisi PA dalam menghadapi tahun politik. Antara lain, memahami tujuan bisnis, memahami lanskap politik, menjaga netralitas, mengenal pemangku kepentingan, fokus pada pemangku kepentingan kunci, mengantisipasi hal-hal yang tidak terduga, hingga menyadari bahwa keterlibatan pemangku kepentingan sejalan dengan investasi.
Pria yang juga menjabat sebagai Executive Vice President Government Relations, External Affairs and Corporate Communications PT Freeport Indonesia, memberikan contoh konkret. Sebagai PA, misalnya, ia menekankan pentingnya menyesuaikan jadwal Pemilu 2024 dengan tujuan bisnis. Salah satunya, proyek smelter Freeport Indonesia di Gresik senilai Rp 42 triliun yang ditargetkan selesai pada Mei 2024.
Dengan mengetahui jadwal Pemilu, perusahaan pertambangan ini dapat memastikan proyek selesai tepat waktu. Apalagi proyek yang melibatkan 8.000 hingga 9.000 pekerja akan berhadapan dengan berbagai tantangan, mulai dari libur nasional, hari pemungutan suara, hingga adanya perubahan peraturan/regulasi.
Agung menambahkan bahwa perubahan dalam pemerintahan dan regulasi tidak akan terjadi secara instan setelah hari pencoblosan, yakni 14 Februari 2024. Hal ini dikarenakan, presiden dan wakil presiden baru akan dilantik pada 20 Oktober 2024.
Oleh karena itu, selama periode tersebut, praktisi PA harus memahami lanskap politik. PA dituntut mampu memprediksi adanya perubahan regulasi. Mereka perlu menganalisis visi dan misi calon presiden dan wakilnya agar seirama dengan tujuan bisnis. Selain itu, mereka juga perlu memahami bahwa politik bersifat dinamis dan tetap menjaga netralitas.
Tantangan PA tidak berhenti di situ. Dibandingkan dengan negara Barat, kata Agung, regulasi di Indonesia memiliki peta jalan (roadmap) yang kompleks dan berliku, seperti spageti. Oleh karena itu, dibutuhkan waktu dan adaptasi untuk mencapai hasil sesuai harapan.
Pemetaan
Di tengah ingar-bingar pesta demokrasi, mengenali dan menetapkan prioritas pemangku kepentingan juga penting. Agung menekankan pentingnya PA membuat pemetaan pemangku kepentingan untuk menentukan prioritas secara jelas. Semua pihak yang terlibat, termasuk nama dan posisi mereka, harus diidentifikasi secara rinci. "Dengan demikian, kita sudah memiliki datanya saat ada pertanyaan tentang izin atau keputusan penting," katanya.
Dalam melakukan hal ini, praktisi PA harus fokus pada pemangku kepentingan yang benar-benar penting. Sebaliknya, menghindari menghabiskan waktu dengan pemangku kepentingan yang kurang relevan. Menurutnya, penting bagi PA untuk menggunakan bahasa yang tepat dalam mangelola pemangku kepentingan. Untuk itu, ia berpesan agar PA memahami substansi dan konten supaya dapat berkomunikasi secara efektif, terutama dalam konteks regulasi yang mungkin bakal mengalami perubahan signifikan. Pada akhirnya, kata Agung, keterlibatan pemangku kepentingan bagi praktisi PA adalah soal investasi. (jar)