Kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) juga dapat menimbulkan krisis bagi perusahaan. Bagaimana public relations (PR) menyikapinya?
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Era kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) telah membuka babak baru bagi organisasi dan perusahaan. Tidak hanya membawa dampak positif, tapi juga berpotensi memicu krisis. Untuk itu, praktisi public relations (PR) harus siap merespons segala bentuk krisis yang muncul karena imbas dari penerapan teknologi ini.
Untuk menghadapi kondisi ini, Sero Choi, PhD Candidate Colorado State University, dalam penelitiannya berjudul Beyond Just Apologies: The Role of Ethic of Care Messaging in AI Crisis Communication (2023), mengajak praktisi PR untuk mengeksplorasi cara terbaik dalam merespons krisis yang disebabkan oleh AI.
Menurut Choi, sebagaimana dikutip dari prdaily.com, mempelajari cara merespons krisis akibat AI ini penting karena masalah yang ditimbulkan akan jauh lebih serius dibandingkan kebanyakan permasalahan teknologi lainnya. “Krisis AI tidak hanya sekadar masalah teknologi. Sebab, dampaknya tidak hanya terhadap individu, tapi juga masyarakat,” ujarnya.
Dalam penelitiannya tersebut, Choi memperkenalkan tiga strategi dalam merespons krisis ihwal teknologi AI. Pertama, perusahaan membuat alasan dan menyatakan bahwa AI tidak mencerminkan pandangan yang diberikan perusahaan. Kedua, meminta maaf dan menjanjikan perubahan. Ketiga, perusahaan langsung menyangkal masalah yang muncul.
Choi dalam penelitian tersebut juga menemukan bahwa cara perusahaan merespons krisis memegang peranan penting dalam memengaruhi persepsi publik. Dari ketiganya, strategi meminta maaf dan membuat alasan lebih efektif dibandingkan dengan menggunakan cara penyangkalan terhadap masalah yang muncul. “Hal ini menunjukkan bahwa tindakan pengakuan itu sendiri sangat penting,” katanya.
Kendati dengan menggunakan strategi menyangkal permasalahan yang muncul adalah yang paling tidak efektif, Choi juga menggarisbawahi bahwa ada kalanya langkah tersebut justru lebih tepat dalam konteks atau situasi tertentu. Misalnya, ketika perusahaan menerima tuduhan yang salah.
Mempertahankan Reputasi
Choi juga menekankan penting bagi perusahaan untuk menguraikan tindakan yang jelas yang akan diambil dalam merespons krisis. Hal ini menunjukkan bahwa perusahaan tidak hanya mengakui kesalahannya, namun juga dapat berkomitmen untuk menyelesaikannya dan mencegah kejadian tersebut terulang kembali di masa mendatang.
Di samping itu, perusahaan juga mesti memprioritaskan transparansi dan tanggung jawab etis kepada publik imbas krisis yang dipicu oleh AI. “Dengan menerapkan strategi permintaan maaf dan menerapkan etika kepedulian yang kuat terhadap krisis yang muncul, perusahaan akan dapat mempertahankan reputasi dan meraih dukungan dari publik bahkan di masa-masa sulit sekalipun,” tutupnya. (mfp)