Jika tidak hati-hati, penerapan environmental, social, governance (ESG) dapat terjerumus kepada praktik greenwashing. Yakni, promosi palsu tentang organisasi dalam menjaga lingkungan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Data The Economist tahun 2021 menunjukkan bahwa 20 dana investasi environmental, social, governance (ESG) terbesar di dunia ternyata terkonsentrasi pada organisasi yang kurang memperhatikan tanggung jawab sosial dan lingkungan. Investasi tersebut, seperti dilansir forbes.com, banyak terkonsentrasi di industri produsen bahan bakar fosil, penambangan batu bara, perjudian, alkohol, hingga tembakau.
Data ini mengindikasikan adanya potensi penyalahgunaan penerapan ESG hingga akhirnya berujung pada praktik greenwashing. Isu greenwashing ini pernah diangkat oleh Majalah PR INDONESIA Edisi 89/Agustus 2022. Ketika itu, Herry Ginanjar, CEO dan pendiri etKomunika serta pakar ESG, mengatakan, greenwashing kerap tak terlepas dari aktivitas komunikasi yang dilakukan oleh public relations (PR), atau populer dengan istilah green PR.
Sebenarnya tujuannya untuk meyakinkan publik. Namun, menjadi berkonotasi negatif karena ada upaya untuk mengelabui publik dengan cara membungkus sesuatu yang tidak baik menjadi terlihat positif. Untuk itu, Harry menekankan agar praktisi PR memberikan perhatian ekstra terhadap informasi yang ingin disampaikan kepada publik. Bahwa informasi yang disampaikan harus bersifat fakta, jujur, dan tidak dilakukan dengan memanipulasi data. Sebab, menurutnya, tindakan greenwashing tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi turut memberikan dampak buruk bagi reputasi organisasi.
Pria lulusan Master of Business Administration SBM ITB tersebut juga berpesan agar praktisi PR untuk menghindari enam hal ini saat mengomunikasikan ESG. Pertama, praktisi harus menghindari penggunaan kata-kata yang menjanjikan tetapi tidak memiliki makna yang jelas, seperti “eco friendly” atau “natural”. Kedua, PR harus menghindari tindakan hipokrisi atau kemunafikan yang dilakukan oleh organisasi.
Ketiga, tidak menggunakan branding visual yang memberikan kesan hijau secara tidak wajar. Contoh, visual bunga bermekaran dari pipa knalpot. Keempat, menghindari penggunaan istilah yang tidak kredibel. Misalnya, usaha untuk menampilkan produk berbahaya sebagai ramah lingkungan, seperti tagline rokok yang disebut sebagai lingkungan ramah. Kelima, praktisi harus menjauhi penggunaan label seolah-olah mendapat dukungan dari pihak ketiga atau pihak tertentu.
Keenam, Herry meminta agar praktisi PR tidak mengeklaim data yang dibuat-buat atau bahkan berlebihan (overclaim). Dengan mengikuti pedoman ini, Herry yakin PR dapat membangun komunikasi ESG yang kredibel. Dan, memastikan bahwa informasi yang disampaikan menarik serta memberikan kontribusi positif bagi lingkungan dan masyarakat. (jar)