Menurut Guru Besar Komunikasi Politik LSPR Institute Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si, model komunikasi politik yang jelas justru membuat Indonesia dapat membangun budaya politik khas.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - LSPR Institute of Communication and Business (LSPR Institute) belum lama ini mengukuhkan Prof. Dr. Lely Arrianie, M.Si sebagai Guru Besar Komunikasi Politik. Dalam orasi ilmiahnya berjudul “Komunikasi Politik Tanpa Model: Tantangan Menemukan Model Komunikasi Politik Khas Indonesia Menuju 2045”, Prof. Lely menyoroti soal ketiadan model komunikasi politik yang jelas di Indonesia.
Menurut Prof. Lely, model komunikasi politik yang jelas justru membuat Indonesia dapat membangun budaya politik khas. “Komunikasi politik tentang pertukaran pesan politik. Bukan lagi sekadar penyampaian pesan yang membuat panggung politik menyimpan banyak masalah, termasuk warna-warni kekerasan fisik dan psikologis yang disikapi masyarakat sebagai premanisme politik,” ucapnya di Auditorium LSPR Institute Jakarta, Jumat (11/4/2025).
Berdasarkan penelitiannya, ungkap Prof. Lely, terjadi pergeseran komunikasi politik dari yang bersifat santun dan seragam, ke arah yang mengabaikan etika dan budaya politik. Secara umum, lanjutnya, komunikasi politik saat ini tidak lagi linear melainkan bergerak ke arah yang lebih konvergen, bahkan lebih transaksional ditandai dengan praktik negosiasi yang intens.
“Front stage” dan “Back Stage”
Dalam orasi ilmiahnya Prof. Lely juga menyinggung teori dramaturgi Erving Goffman yang memuad dua jenis panggung. Panggung depan (front stage) sebagai sebuah wilayah pertunjukkan yang menampilkan hal-hal dan perilaku yang baik, dan panggung belakang (back stage), sebagai wilayah yang membolehkan perilaku bebas tanpa mempedulikan kelayakan sikap.
Dalam konteks kancah politik Indonesia kiwari, kata Prof. Lely, komunikator politik cenderung mendominasi panggung belakang. Kecenderungan tersebut, kata peraih gelar Doktoral dari Universitas Padjadjaran Bandung itu, menegaskan bahwa komunikator politik Indonesia lebih mengutamakan kepentingan individu. Padahal menurutnya, yang dibutuhkan saat ini adalah model komunikasi politik yang mengedepankan etika, moral, keadilan, dan tanggung jawab.
“Komunikasi politik juga berbicara tentang kepemimpinan politik. Dalam kepemimpinan koordinasi, hendaknya bisa menjadi pembicara politik ala motivator yang mengugah dan membangun kehidupan yang lebih baik,” lanjutnya.
Meski bisa dikatakan saat ini Indonesia tidak memiliki model komunikasi politik, tetapi Prof. Lely optimistis proses politik dewasa ini akan menciptakan komunikasi model politik, yang dapat menjadi acuan praktik komunikasi yang berbudaya dan bertanggung jawab. (eda)