Praktisi public relations (PR) harus akrab dengan teknologi. Upaya itu harus dilakukan untuk memudahkan PR dapat melakukan navigasi dan mendefinisikan strategi komunikasinya.
SEMARANG, PRINDONESIA.CO - Di masa depan, teknologi tak lagi dapat dipisahkan dari kinerja public relations (PR). Oleh karenanya, praktisi PR tidak boleh gagap teknologi alias gaptek. Demikian kata co-founder & Dean of SCoRe India Hemant Gaule saat menjadi pembicara di acara Konvensi Humas Indonesia yang diselenggarakan hibrida, Sabtu (2/8/2023).
Dari hasil pengamatannya, ia merangkum ada lima tren yang dapat menjadi acuan PR dalam menginisiasi strategi komunikasi. Yang pertama adalah adalah micro-influence. Yakni, kemampuan PR dalam memengaruhi publik dengan lebih terfragmentasi. Kedua, pengukuran. Jika sebelumnya pengukuran mengacu kepada return on investment (ROI), sekarang return on objective (ROO). Ketiga, adalah autentisitas dari owned media. Sebut saja, laman resmi dan media sosial yang dikelola oleh organisasi.
Tren yang keempat adalah soal keberlanjutan. Menurut Gaule, environment, social, and governance (ESG) kini harus dipandang sebagai investasi jangka panjang. Terakhir, tren memberdayakan proses automasi lewat penggunaan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI).
Senada dengan Gaule, Executive Director Knowledge Hub Ltd. New Zealand Catherine Arrow mengatakan, AI dapat membantu pekerjaan PR. Mulai dari mempercepat kerja PR dalam mengoleksi, menganalisis, hingga memproses data sebagai acuan dalam bekerja. Sama seperti Gaule, Catherine pun menyoroti tentang micro-influence sebagai komunikator. “PR tidak bisa lagi hanya sebatas mengenal segmentasi konsumen. Lebih dari itu, PR harus melakukan penyesuaian dengan kebutuhan tiap konsumen (hyper-personalised),” ujarnya.
Tren lain yang terus berkembang dan tidak boleh luput dari perhatian PR, menurut Catherine, adalah teknologi imersif yang menghadirkan cara baru dalam berkomunikasi. Teknologi ini dapat mempertemukan dunia fisik dan digital.
Catherine meyakini jika praktisi PR berhasil menelaah tren-tren tersebut, maka semakin tinggi pula peluang PR dalam menavigasi komunikasi di masa mendatang. Pada akhirnya, organisasi mendapat penerimaan sosial yang lebih baik untuk beroperasi (social lisence to operate) dari masyarakat sekitar.
Memenangkan Hati Audiens
Era digital yang dihadapi saat ini juga telah membuat informasi makin melimpah. Terkadang, kondisi ini justru menyulitkan praktisi PR untuk dapat menarik perhatian dan memenangkan hati audiens. Namun, kata President of Public Relations Society of the Philippines Norman Agatep, praktisi PR jangan berkecil hati. Sebab, masih banyak cara yang bisa dilakukan untuk menyikapi tantangan tersebut.
Salah satunya, praktisi PR dapat belajar dari kampanye “No Somos Delito” atau yang dalam Bahasa Indonesia mengandung arti “Kami Bukan Kriminal”. Kampanye yang diluncurkan pada akhir tahun 2013 menjadi bukti betapa teknologi dapat memberikan kekuatan, terutama memungkinkan masyarakat untuk mengamplifikasi aspirasi mereka. Contoh berikutnya, kampanye “The Closer” oleh Heineken. The Closer merupakan aplikasi untuk mewujudkan keseimbangan antara pekerjaan dengan kehidupan (work-life balance). Kampanye ini memosisikan brand sebagai pemberi solusi. (rvh)