Kini humas pemerintah berdiri di titik yang amat menentukan: apakah akan terus mengulang pola lama yang terlalu formal dan kaku, atau justru bergerak maju menjadi humas yang inovatif, terpercaya, dan dekat dengan publik?
Oleh: Dhita Widya Putri, Mahasiswa PhD University of Debrecen Hungary
HUNGARIA, PRINDONESIA.CO - Ada satu kalimat yang akrab di telinga ketika humas pemerintah berbicara di depan publik: "Mohon izin, sesuai arahan pimpinan." Kalimat ini memang sopan, bernuansa birokratif, bahkan bisa dikatakan penuh penghormatan. Namun, jika terus-menerus diulang tanpa substansi yang jelas, kalimat ini perlahan dapat menjauhkan humas dari fungsi esensialnya sebagai jembatan komunikasi yang dekat dan terpercaya antara pemerintah dan masyarakat.
Di era digital seperti saat ini, ruang gerak humas seharusnya semakin luas dan interaktif. Platform digital sebenarnya memberi kesempatan bagi humas untuk menciptakan komunikasi dua arah yang dinamis dengan masyarakat. Namun, tak jarang penggunaan platform digital ini masih sebatas formalitas. Akibatnya, komunikasi yang muncul sering kali hanya berupa penyampaian informasi satu arah, bukan percakapan yang melibatkan masyarakat secara aktif. Informasi disampaikan, tetapi tidak direspons. Narasi dibangun, tetapi tanpa ruang diskusi. Dalam kondisi seperti ini, komunikasi yang seharusnya menjadi alat membangun kepercayaan justru berisiko menjadi tembok pembatas antara pemerintah dan publiknya sendiri.
Tantangan yang dihadapi humas semakin kompleks ketika kebijakan efisiensi anggaran mulai diterapkan hampir di seluruh sektor pemerintahan. Di satu sisi, efisiensi anggaran adalah keharusan, mengingat banyaknya kebutuhan prioritas yang harus dipenuhi oleh negara. Namun, di sisi lain, komunikasi publik yang baik juga merupakan investasi jangka panjang bagi stabilitas pemerintahan. Humas sebagai ujung tombak komunikasi pemerintah, berada dalam posisi yang dilematis: bagaimana tetap menjalankan tugasnya dengan baik ketika sumber daya semakin terbatas?
Pada situasi seperti ini, humas pemerintah mesti mampu menyiasati keterbatasan dana sambil menjaga kualitas komunikasi dengan publik. Memang, di sinilah seninya menjadi humas—tetap efektif dalam menyampaikan informasi meski dalam kondisi anggaran yang makin ramping. Kemampuan beradaptasi menjadi kunci. Namun, kita tentu harus jujur: keterbatasan anggaran tersebut sedikit banyak membawa risiko. Ketika humas kesulitan menjalankan tugasnya secara optimal akibat efisiensi, komunikasi publik mungkin akan menjadi kurang maksimal. Padahal, komunikasi yang baik adalah fondasi utama terbangunnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.
Tantangan yang Merentang
Kurangnya komunikasi yang jelas dan transparan dapat menimbulkan kebingungan bahkan kecurigaan di tengah masyarakat. Tanpa ada penjelasan yang utuh, wajar jika kebijakan pemerintah kerap ditafsirkan dengan cara yang berbeda-beda oleh publik. Dalam beberapa kasus, ini dapat memicu munculnya spekulasi, persepsi negatif, bahkan ketidakpercayaan. Tantangan ini semakin besar di era digital, karena informasi yang salah lebih cepat menyebar dibandingkan klarifikasi resmi.
Meski begitu, situasi tersebut bukan tanpa harapan. Banyak langkah positif yang mulai dilakukan, misalnya pelatihan komunikasi digital secara rutin agar personel humas tetap kompeten di tengah perubahan teknologi. Begitu juga audit komunikasi yang dilakukan berkala untuk memastikan keakuratan informasi yang sampai ke publik. Tak lupa, pendekatan dialogis yang lebih terbuka kepada masyarakat terus dibangun agar komunikasi bisa benar-benar dua arah dan efektif.
Pemanfaatan media sosial juga harus lebih dari sekadar mengunggah pencapaian, tetapi menjadi ruang interaksi yang aktif antara pemerintah dan masyarakat. Di beberapa daerah, praktik-praktik baik ini terbukti berhasil meningkatkan kepercayaan publik. Pemerintah di berbagai level mulai menyadari pentingnya humas yang proaktif, kreatif, dan terbuka terhadap suara masyarakat. Beberapa instansi telah menerapkan strategi komunikasi yang lebih partisipatif, dengan menempatkan publik tidak hanya sekadar menjadi penerima informasi, tetapi juga dilibatkan dalam dialog kebijakan.
Menyambut tantangan ini, humas diharapkan tidak lagi sekadar menyampaikan informasi formal yang kaku, tetapi bertransformasi menjadi sahabat dialog bagi masyarakat. Menjadi humas pemerintah tidak hanya soal menyusun siaran pers atau mengelola media sosial, tetapi juga soal membangun kredibilitas dengan masyarakat. Karena pada akhirnya, kepercayaan publik tidak lahir dari banyaknya jumlah unggahan, tetapi dari kejelasan, keterbukaan, dan konsistensi dalam komunikasi.
Kini humas pemerintah berdiri di titik yang amat menentukan: apakah akan terus mengulang pola lama yang terlalu formal dan kaku, atau justru bergerak maju menjadi humas yang inovatif, terpercaya, dan dekat dengan publik? Barangkali kini saatnya humas pemerintah lebih percaya diri, mengurangi kalimat "mohon izin, sesuai arahan," dan mulai memberi solusi yang nyata kepada masyarakat. Karena pada akhirnya, humas bukan sekadar penyampai pesan, tetapi penjaga kepercayaan.