Pengesahan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU) oleh DPR RI, hari ini, Kamis (20/3/2025), membuktikan bahwa kritik dan upaya partisipasi publik tidak dipertimbangkan.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Hari ini, Kamis (20/3/2025), Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) melalui Rapat Paripurna ke-15 Masa Persidangan II Tahun Sidang 2024-2025, resmi mengesahkan Revisi Undang-Undang (RUU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI menjadi Undang-Undang (UU).
Pengesahan tersebut membuktikan bahwa kritik dan upaya partisipasi dari masyarakat sipil sejak beberapa hari terakhir, tidak menjadi pertimbangan bagi DPR RI maupun pemerintah untuk menunda pembahasan atau bahkan membatalkan pengesahan. Sikap tidak menerima kritik sebelumnya juga terlihat dari pernyataan kontroversi para pejabat pemerintahan ketika merespons pendapat publik.
Staf Khusus Bidang Strategis Komunikasi Kementerian Komunikasi Digital (Komdigi) Rudi Valinka, misalnya, sempat mengunggah kalimat yang oleh sebagian besar warganet dianggap merendahkan rakyat. “Ternyata draft RUU TNI yang tidak sesuai yang beredar di medsos kemarin (emoji tertawa). Kena prank lagi aja deh netizen,” tulisnya di akun X @kurawa pada Senin (17/3/2025).
Pada hari yang sama, Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan Hasan Nasbi turut merilis pernyataan yang menyebut percakapan dan penolakan terhadap RUU TNI merupakan bentuk provokasi. "Setelah konpers di DPR barusan, apakah berlebihan jika kita meminta org2 yang ngaku sbg intelektual, influencer, serta para aktifis, yang sudah menyebarkan provokasi dan narasi bohong soal RUU TNI agar meminta maaf? Kalau mereka ga minta maaf, sebaiknya kita sebut sebagai apa?" tulisnya pada akun @NasbiHasan sebelum kemudian dihapus.
Baik Rudi maupun Hasan, meyakini kalau draf naskah akademik RUU TNI yang memicu polemik di masyarakat bukan versi asli sebagaimana dibahas oleh DPR RI. Meski demikian, sejumlah warganet memiliki bukti bahwa draf naskah yang memicu banyak kekhawatiran, salah satunya soal potensi kembalinya dwifungsi TNI, berasal dari laman resmi DPR RI.
Empati Bukan Emosi
Gaya dan pendekatan komunikasi dua pejabat pemerintah di atas seakan menegaskan kalau mereka tidak belajar dari pengalaman. Sebab, sejak awal Presiden Prabowo Subianto menjabat, blunder dan pernyataan serupa sudah sering keluar dari mulut pejabat pemerintah ketika merespons kritik terhadap kebijakan maupun isu yang menghadang pemerintahan.
Padahal, menurut praktisi government public relations (GPR) sekaligus founder Govcom Ani Natalia Pinem, di tengah hantaman berbagai isu dan krisis kepercayaan publik saat ini, penting bagi pemerintah untuk menerapkan komunikasi berbasis empati. “Tunjukkan keberpihakkan kepada rakyat kecil dengan pesan yang humanis,” ujarnya kepada PR INDONESIA saat ditanya soal isu pengurangan takaran Minyakita, Kamis (13/3/2025).
Sebelumnya, Koordinator Program Studi Magister Ilmu Komunikasi Universitas Pembangunan Nasional (UPN) Veteran Yogyakarta Edwi Arief Sosiawa juga sempat melayangkan kritik dan masukan terkait komunikasi publik pemerintah, dalam kaitannya dengan pola komunikasi reaktif Presiden Prabowo.
Dalam artikel opini berjudul "Pola Komunikasi Reaktif Prabowo dalam Balutan Diksi ‘Ndasmu’ di Pidato HUT ke-17 Partai Gerindra" yang terbit di HUMAS INDONESIA, Rabu (19/2/2025), Edwi menilai komunikasi dari jajaran penguasa hari ini menjadi cerminan usaha kekuasaan dalam mempertahankan dirinya dengan meredam perbedaan pendapat di ruang publik. “Komunikasi politik yang efektif biasanya membutuhkan kemampuan untuk menjawab kritik dengan kalimat yang rasional dan berbobot, tanpa mengarah pada penghinaan atau kemarahan,” tulisnya. (eda)