Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) melakukan sejumlah langkah antisipatif untuk mencegah semakin maraknya hoaks selama Pemilu 2024.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO – Penyebaran hoaks kerap mewarnai penyelenggaraan pemilihan umum, tak terkecuali pada penyelenggaraan Pemilu 2024. Untuk mengantisipasi menjamurnya hoaks yang berpotensi memecah-belah bangsa dan mengganggu penyelenggaraan pesta demokrasi, Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) telah melakukan sejumlah upaya.
Berbagai upaya mengantisipasi maraknya hoaks selama Pemilu 2024 disampaikan oleh Usman Kansong, Dirjen Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kemenkominfo, saat mengisi sesi panel Indonesia Communications Outlook Vol.2 bertema "Examining Risk and Opportunities from a Marketing and Communication Perspective" di Jakarta, Rabu (27/9/2023).
Usman mengatakan, berdasarkan data yang dihimpun Kemenkominfo, diketahui ada 928 isu hoaks yang beredar selama penyelenggaraan Pemilu 2019. Sementara itu, menjelang penyelenggaraan Pemilu 2024, Kemenkominfo mencatat sudah ada 152 hoaks selama periode Januari - September 2023. Kemenkominfo memprediksi puncak penyebaran hoaks akan terjadi pada Januari, bertepatan dengan masa kampanye Pemilu 2024.
Oleh karenanya, Kemenkominfo membuat strategi dengan membuat kampanye Pemilu Damai 2024. Sementara tagline yang diusung adalah “Berbeda pilihan seperlunya, berbangsa, bernegara, bersahabat, dan bersaudara selamanya”.
Tiga Jurus
Di sisi lain, kementerian yang berada di bawah Menteri Budi Arie Setiadi ini juga telah mempersiapkan tiga jurus untuk menghadapi hoaks selama musim Pemilu 2024. Di antaranya, pertama, Kemenkominfo menggunakan bantuan kecerdasan buatan atau artificial intelligence (AI) yang disebut dengan Sistem Identifikasi Otomatis atau Automatic Identification System (AIS). Teknologi ini mampu mendeteksi hoaks, termasuk yang berkaitan dengan politik di dunia maya.
Kedua, mereka melakukan patroli siber (cyber patrol). Patroli siber ini akan bekerja selama 24 jam memantau penyebaran berita hoaks di media sosial. Cara ini, menurut Usman, turut melibatkan masyarakat untuk aktif melaporkan untuk kemudian ditindaklanjuti oleh Kemenkominfo. Hal ini dikarenakan tidak semua media sosial dapat diakses secara terbuka oleh pemerintah, terutama pada platform tertutup seperti WhatsApp dan Telegram. “Mesin dan kami tidak bisa mengakses ke sana karena platformnya tertutup,” ujarnya.
Ketiga, menghapus hoaks dalam waktu tidak lebih dari 1x24 jam. Bahkan, kata Usman, pemerintah melalui Kemenkominfo terus mendorong agar durasi penanganan hoaks menjadi jauh lebih singkat agar dampak hoaks tidak semakin meluas dan menyebabkan terjadinya polarisasi di tengah masyarakat. (jar)