Menyoal Komunikasi Risiko Bencana Seperti untuk Banjir Jabodetabek
PRINDONESIA.CO | Jumat, 07/03/2025
Menyoal Komunikasi Risiko Bencana Seperti untuk Banjir Jabodetabek
Banjir melanda wilayah Jabodetabek Selasa (4/3/2025).
doc/Kompas.com

JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Banjir yang mengepung sejumlah wilayah di Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang hingga Bekasi (Jabodetabek) pada Selasa (4/3/2025), kembali mengingatkan pentingnya komunikasi risiko dan krisis yang efektif dari otoritas terkait. Sebagaimana ditegaskan Pakar Komunikasi Bencana dari LSPR Institute Hidayat, pemerintah daerah (pemda) saat ini perlu bersegera mempersiapkan strategi komunikasi risiko dan krisis yang efektif guna meminimalkan dampak bencana banjir dan menghindari korban jiwa.

Pria yang menjabat Head of Crisis and Resilience Studies LSPR Institute itu menerangkan, strategi tersebut mencakup pula penyediaan sarana komunikasi untuk merespons laporan masyarakat. “Pemerintah perlu menyebarkan informasi secara cepat, akurat dan memberikan peringatan dini, serta menyediakan informasi lokasi pengungsian dan bantuan,” paparnya seperti dikutip dari Media Indonesia, Selasa (4/3/2025).

Dalam konteks ini, founder & Principal Consultant NAGARU Communication Dian Agustine Nuriman berpandangan, upaya menghadirkan komunikasi risiko dan krisis di tengah bencana banjir, dapat pula dilakukan dengan Model Komunikasi Risiko Bencana Alam Melalui Stakeholder Engagement.

Secara garis besar, terang Dian, model komunikasi yang ia rancang pada 2022 itu mengajak praktisi komunikasi untuk lebih dulu melakukan kolaborasi komunikasi pemangku kepentingan terpadu, dilanjut dengan membangun pesan untuk kemudian disebar melalui media maupun aktivitas komunikasi kepada pemangku kepentingan. Dari rangkaian tersebut diharapkan tercipta perubahan perilaku, yang pada akhirnya berkontribusi pada pengurangan risiko bencana.

Mencapai Tujuan Komunikasi Risiko Bencana

Dian memaparkan, dalam hal kolaborasi pemangku kepentingan terpadu, perlu adanya pelibatan seluruh stakeholder dalam penanganan bencana alam, mulai dari BMKG, BNPB, BPBD, Basarnas, Pemda, TNI/Polri, dinas sosial, dinas kesehatan, radio, hingga penyedia jaringan seluler. “Setiap entitas dalam elemen ini berkaitan erat baik sebelum bencana, saat, dan sesudah terjadinya bencana,” ujar Dian saat dihubungi PR INDONESIA, Kamis (6/3/2025),

Di samping itu, lanjut Dian, penting pula melakukan risk perception sebelum mengolah pesan kebencanaan, agar fungsi komunikasi yang dijalankan bisa tepat mengenai sasaran.  Tak kalah penting, imbuhnya, memahami karakteristik audiens sebelum kemudian menentukan jenis media komunikasi yang akan digunakan. “Sehingga dapat membentuk kesadaran akan risiko bencana alam dan masyarakat lebih tanggap, memiliki ketahanan (resilience), dan respons terhadap bencana alam,” tambahnya.

Secara umum, kata Dian, tujuan dari komunikasi risiko bencana adalah pengurangan risiko dari bencana itu sendiri, dengan target akhir zero victim alias tidak ada korban sama sekali. Adapun hulu dari semua itu, imbuhnya, adalah kemampuan memastikan pesan yang disampaikan melalui media atau suatu aktivasi, dapat diterima dan dipahami dengan baik oleh stakeholder, sehingga menimbulkan kesadaran akan risiko bencana alam yang dapat mengubah perilakunya.

“Strategi komunikasi risiko yang dirancang menggunakan model di atas dapat membantu praktisi public relations (PR) maupun government public relations (GPR) untuk bergerak, atau setidaknya memetakan langkah dalam menghadapi bencana alam,” tutupnya. (eda)

BERITA TERKAIT
BACA JUGA
tentang penulis
komentar (0)
TERPOPULER

Event

CEO VIEW

Interview

Figure

BERITA TERKINI