Disinformasi, misinformasi dan malinformasi menjadi ancaman serius bagi organisasi dan masyarakat. Diperlukan strategi komunikasi untuk menjaga integritas informasi dan melindungi reputasi.
JAKARTA, PRINDONESIA.CO - Derasnya arus informasi hari ini telah memungkinkan penyebaran sebuah pesan berlangsung secepat kilat. Namun, perlu dipahami bahwa informasi yang kini membanjiri ruang-ruang maya, turut disusupi disinformasi, misinformasi, dan malinformasi. Hal tersebut menuntut setiap orang, termasuk praktisi public relations (PR), untuk memiliki mekanisme penyaringan berlapis agar informasi yang dikonsumsi murni berisi kebenaran.
Khusus bagi praktisi PR, penyebaran disinformasi, misinformasi, dan malinformasi merupakan tantangan yang tidak bisa disepelekan. Sebab, hal-hal tersebut bisa jadi mengancam citra dan reputasi organisasi yang dibangun dengan susah payah. Dalam hal ini, terdapat sekurangnya lima kiat jitu yang dapat diterapkan untuk menangkal informasi keliru. Dilansir dari PR Daily, Senin (10/6/2024), berikut uraiannya.
1. Pastikan Pesan yang Disampaikan Jelas Kepada Internal
Langkah awal dalam menangani misinformasi adalah memastikan semua kalangan internal baik dari level atas hingga bawah, memahami pesan utama organisasi dengan benar. Pastikan pula mereka mengetahui cara mengomunikasikan pesan tersebut kepada pihak eksternal.
2. Periksa Fakta dan Sumber Informasi
Guna memastikan kebenaran dan kredibilitas suatu informasi, praktisi PR perlu melakukan verifikasi informasi. Sebuah penelitian yang dilakukan mahasiswa Massachusetts Institute of Technology (MIT) pada 2018 mengungkap, berita palsu menyebar lebih cepat dibandingkan berita yang benar. Oleh karena itu, penting untuk tidak melewati proses pengecekan fakta dan memastikan sumber informasi berasal dari lembaga yang terpercaya.
3. Adakan Pertemuan Secara Rutin
Pemimpin PR harus secara rutin mengadakan pertemuan atau pelatihan bagi tim komunikasi yang mencakup literasi media, mengidentifikasi misinformasi, serta menangani ancaman informasi palsu yang muncul. Selain itu, organisasi juga memerlukan strategi pengelolaan krisis untuk melindungi reputasi jika terjadi masalah tidak terduga.
4. Jangan Melebih-lebihkan Pesan
Sebagai komunikator, hindari penggunaan bahasa hiperbolis yang dapat mesdistorsi pesan. Dalam konteks ini, fokus terhadap transparansi dalam penyampaian pesan, dan memastikan informasi yang disampaikan dilandasi fakta yang sudah diverifikasi.
5. Remajakan Rencana Komunikasi Krisis
Distribusi informasi keliru yang sangat cepat, menuntut praktisi PR harus memiliki rencana komunikasi krisis terkini. Selaras, terus pastikan seluruh karyawan siap menangani ancaman informasi keliru yang berseliweran. Dengan begitu, jika krisis muncul dalam semalam, para karyawan dapat memberikan respons secara efektif. (eda)