Praktisi public relations (PR) dituntut fasih menggunakan teknologi kecerdasan buatan. Sebab, teknologi ini akan mengubah cara manusia berkomunikasi, berinteraksi, hingga berperilaku.
Berdasarkan laporan dari Chartered Institute of Public Relations (CIPR) pada 2021 berjudul AI and Big Data Readiness Report - Assessing the Public Relations Profession’s Preparedness for an AI Future, diketahui hanya 13,9% responden praktisi public relations (PR) yang merasa nyaman menggunakan teknologi kecerdasan buatan/artificial intelligence (AI). Sementara 43,2% lainnya tidak memiliki kepercayaan menggunakan AI. Namun, mereka mau belajar.
Dari laporan tersebut juga ditemukan sekitar 30% praktisi PR akrab dengan teknologi AI. Tercatat 80% responden juga mengetahui aktivitas media monitoring sudah bisa dilakukan dengan menggunakan AI. Teknologi ini juga bisa dilakukan oleh PR untuk menganalisis data, mengetahui sentimen publik, mengoptimalisasi media sosial, kampanye, hingga membantu mereka saat membuat siaran pers.
Lantas, bagaimana seharusnya praktisi PR menyikapi keberadaan AI? Menurut Content Director Hill+Knowlton (H+K) Strategies Indonesia Vishnu K. Mahmud kepada PR INDONESIA, Kamis (22/6/2023), AI bisa dilihat sebagai alat atau tools yang dapat digunakan untuk meningkatkan kreativitas, efisiensi, dan efektivitas pekerjaan PR. Potensinya hampir tidak terbatas. Khusus PR, AI bisa digunakan untuk membantu menulis konten komunikasi seperti siaran pers, artikel, talking points, hingga unggahan di media sosial.