Menurut Director PT Datawave Korpora Indonesia Arya Gumilar Arya Gumilar, alih-alih menjadi ragu terhadap kompetensi diri sendiri, perkembangan pesat AI justru harus dijadikan pendorong semangat untuk dapat meningkatkan keahlian dalam pemanfaatannya.
BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Sesi workhsop Satu Dekade PR INDONESIA Awards (PRIA) 2025 yang dibawakan Director PT Datawave Korpora Indonesia Arya Gumilar, Selasa (25/2/2025), dibuka dengan pemikiran kritis peserta yang terpantik dari studi kasus mengenai isu dan krisis yang melanda sebuah lembaga negara pada tahun lalu.
Dalam kesempatannya, Arya yang mengampu materi bertajuk Personalisasi dan Otomatisasi Komunikasi berbasis AI untuk Mengoptimalisasi Reputasi dan Risiko Krisis Organisasi, mengajak ke-45 peserta untuk memberikan usulan penyusunan strategi kampanye komunikasi untuk meredam krisis dan mengembalikan kepercayaan publik.
Dari hasil diskusi para peserta, disepakati bahwa langkah strategis seorang praktisi PR dalam situasi tersebut dapat dimulai dengan menginvestigasi isu yang terjadi, dan terus memantau perkembangannya. Dua langkah awal itu yang kemudian dapat memberikan solusi strategis memuaskan organisasi dan publik.
Merespons para peserta, Arya pun memberikan gambaran bagaimana kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) dapat menyusun strategi komunikasi krisis berdasarkan prompt atau perintah berbasis teks. Simulasi tersebut kemudian mengundang pertanyaan dari salah satu peserta, mengenai apakah AI lebih baik membuat strategi komunikasi krisis dibandingkan praktisi PR.
Menurut Arya, alih-alih menjadi ragu terhadap kompetensi diri sendiri, simulasi di atas justru harus dijadikan pendorong semangat untuk dapat meningkatkan keahlian dalam pemanfaatan AI. Dengan itu, katanya, praktisi PR dapat berjalan beriringan dengan AI yang memudahkan pekerjaan. “Hal yang membedakan kita dengan AI adalah perasaan emosional dan komunikasi lateral (horizontal communication) sehingga terciptanya personality yang berbeda-beda,” ucapnya menekankan satu hal penting yang tak akan bisa dicapai AI.
Empati Membentuk Kreativitas
Keterbatasan AI yang tidak memahami aspek emosional, lanjut Arya, dapat digenapi dengan pendekatan humanis dan kreativitas yang dimiliki praktisi PR. Bagi Arya, hanya dengan itu keautentikan pesan atau kampanye dapat tercipta.
Adapun untuk mengasah sensitivitas dan kedalaman emosional agar dapat menghasilkan karya komunikasi yang lebih baik dibandingkan AI, Arya mengajak para praktisi PR untuk mau terbiasa dengan berbagai masalah. “Dengan itu otak manusia akan selalu berpikir dan berusaha mencari jalan ’tikus’,” ucapnya.
Menutup sesi workshop, Arya turut menekankan pentingnya insight yang merujuk pada kesadaran atas pengalaman yang dapat membuat seseorang menjadi lebih kreatif. (eda)