Di era sekarang, kata CEO NoLimit Indonesia Aqsath Rasyid Naradhipa, adopsi penggunaan AI telah menjadi keharusan. Perdebatan yang perlu digulirkan, katanya, bukan lagi soal perlu atau tidak penggunaannya, melainkan tentang bagaimana cara menggunakannya dengan bijak.
BANDUNG, PRINDONESIA.CO – Perkembangan dunia digital yang kian pesat telah menempatkan praktisi public relations (PR) di dalam transformasi besar. Dalam konteks komunikasi secara umum, perubahan pola konsumsi informasi dan teknologi berbasis data menjadi faktor utama yang membentuk lanskap masa kini.
Menurut CEO NoLimit Indonesia Aqsath Rasyid Naradhipa, perubahan tersebut meliputi generation shift, yakni perubahan perilaku audiens generasi milenial, X, dan alpha yang dominan mengakses platform digital dan media sosial untuk mengonsumsi informasi. Selain itu ada pula complaint shift, yaitu pergeseran cara menyampaikan keluhan dari telepon atau sms ke media sosial.
“Hal ini menandakan bahwa praktisi PR harus lebih adaptif, kreatif dalam menyasar audiens dengan mengandalkan komunikasi dua arah yang lebih dinamis dan harmonis,” ujarnya dalam sesi conference Satu Dekade PR INDONESIA Awards (PRIA) 2025 di Graha Pos Indonesia, Bandung, Senin (24/2/2025).
Selaras dengan pergeseran dan perubahan yang terjadi, Aqsath melanjutkan, terdapat setidaknya satu langkah penting yang harus diterapkan praktisi PR guna memastikan komunikasi berdampak. Yakni, pemanfaatan big data dan artificial intelligence (kecerdasan buatan) untuk dikembangkan menjadi keharmonisan data sehingga dapat menunjang pesan yang disampaikan (data driven strategy).
Dukungan data tersebut, katanya, dapat dieksekusi (execution) menjadi sebuah pesan atau kampanye yang disesuaikan bagi target audiens. Adapun setelah rangkaian kampanye dilakukan, imbuhnya, praktisi PR perlu melakukan monitoring dan evaluasi yang mengarah kepada dampak (impact) demi keberlanjutan organisasi. “Komunikasi tidak hanya sekadar komunikasi, tetapi membawa impact dan berkelanjutan,” ujarnya.
PR di Era Digital
Di era sekarang, lanjut Aqsath, adopsi penggunaan AI telah menjadi keharusan. Perdebatan yang perlu digulirkan, katanya, bukan lagi soal perlu atau tidak penggunaannya, melainkan tentang bagaimana cara menggunakannya dengan bijak. “Persaingan teman-teman PR sudah global, jadi haru improve,” tegasnya.
Pernyataan Aqsath mengundang pertanyaan dari salah satu peserta, yang penasaran soal bagaimana cara praktisi PR memanfaatkan media sosial untuk mendapatkan sebuah data. Menjawabnya, Aqsath mengatakan, hal tersebut sejatinya ditentukan oleh tujuan pengumpulan data. “Jika praktisi PR ingin mencari data dari opini masyarakat bisa melalui media sosial. Namun, jika ingin mendapatkan data dari pernyataan pejabat harus melalui media konvensional,” pungkasnya. (eda).